Syaikh Muhammad Nashiruddun Al Albani rahimahullah seorang pakar hadist yang sangat terkenal diabad ini,seorang da’i yang sabar dalam menyebarkan ilmu dan berdakwah mengajak manusia kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Belum lama ini beredar di negeri arab film dokumenter jejak kehidupan Syaikh Albani.Sejumlah gambar cuplikan dari film tersebut dipotong dan diedarkan di beberapa forum internet.Inilah gambar-gambar tersebut,mudah-mudahan ada pelajaran yang bisa diambil bagi para tholabul ilmi dari kehidupan beliau yang tercermin dari gambar-gambar dibawah ini.
———————————————————————————————————————————————————————————————————————– 1.Dirumah inilah,Albani kecil tumbuh besar bersama kedua orangtua beliau…..
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..…….…. 2.Di rumah inilah,Syaikh Albani tinggal bersama keluarganya setelah hijrah dari Albania…
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………h 3.Madrasah Nidzamiyah,di madrasah ini Syaikh Albani dimasukkan oleh Ayahnya untuk belajar…
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………. 4.Tidak lama,Ayahnya mengeluarkan lagi Syaikh Albani dari Madrasah ini untuk membimbing Syaikh Albani menghapal Qur’an secara khusus dibawah bimbingan Ayahnya sendiri
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. 5.Toko Jam dimana Syaikh Albani bekerja bersama Ayahnya…..(Gambar orang yang terlihat adalah Adik Syaikh Albani paling kecil)
———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 6.Syaikh Albani mulai membuka toko sendiri terpisah dari Ayahnya….Dijalan inilah terletak toko beliau…
—————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 7.Inilah toko usaha servis jam Syaikh Albani
——————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 8.Perpustakaan Adz Dzahiriyah dimana Syaikh Albani banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah buku…terkadang di meja khususnya diantara pengunjung dan terkadang membaca buku di tangga-tangga perpustakaan.Dan menurut putra beliau,Abdul Lathif, beliau sering lupa makan dihari itu..
———————————————————————————————————————————————————————————————————————— 9.Majalah pertama dimana Syaikh Albani menulis pertama kalinya.Majalah ini yang terbit di Dimasyq
———————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 10.Ini adalah buku Ats Tsamar Mustathob Fi Fiqhis Sunnah wal Kitab,adalah kitab pertama Syaikh dalam memulai dirasah hadist-hadist
——————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 11.Silsilah Adh Dhaifah ,salah satu kitab karya Syaikh Albani yang terkenal
———————————————————————————————————————————————————————————————————————————– 12.Manuskrip Shahih Abu Daud karya Syaikh Albani
—————————————————————————————————————————————————————————————-- 13.Shahih “As Sirah An Nabawiyah” karya Syaikh Albani
Sumber: direktori-islam.com
Kamis, 24 November 2011
Bakti Seorang Ulama Buta pada Ibundanya
Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak [1] adalah salah seorang ulama negeri saudi saat ini. Saya ingin menyebutkan kisah betapa berbaktinya Syaikh kami terhadap ibundanya dan Syaikh hafidzahullah telah mencontohkan teladan yang sungguh ajaib dalam berbakti, terkhusus di zaman sekarang ini. Ibunda Syaikh telah wafat sekitar 5 tahun silam. Saya akan menyebutkan beberapa kisah dalam beberapa point berikut tanpa perincian yang luas:
1. Syaikh Abdurrahman Al Barrak hafidzahullah dikenal hanya sedikit pergi haji. Sebabnya adalah tidak adanya persetujuan ibundanya rahimahallah. Beliau mulai berhaji lagi sejak Ibunya lemah ingatannnya dan bercampurnya sebagian hal sehingga menjadi memberikan izin baginya untuk pergi haji
2. Syaikh Al Barrak tidak pergi safar kecuali setelah diberi izin ibundanya. Suatu waktu,terjadi suatu permasalah di kampung halaman beliau di Albakiriyah daerah Al Qosim. Penduduk daerah tersebut meminta Syaikh untuk datang agar membantu menyelesaikan masalah tersebut karena kedudukan Syaikh yang berpengaruh dikalangan mereka. Maka Syaikh menyetujuinya untuk pergi asalkan dengan syarat jika diizinkan Ibunya.
Maka sebagian sebagian saudara ibunya berbicara kepada Ibu Syaikh, dan karena segan maka kemudian diizinkanlah Syaikh Al Barrak.Setelah saudara-saudara Ibunya pergi,maka sang Ibu berkata pada Syaikh Abdurahman bin Nashir Al Barrak : “Saya menyetujuinya karena mereka terus menerus meminta padaku”.
3. Syaikh Abdurrahman dalam safarnya ke Mekah dalam liburan musim panas tidaklah terputus dari menelepon ibunya. Tidak kurang dari dua kali menelepon ibunya dalam sehari. Bahkan beliau sempat memutuskan pelajaran yang sedang disampaikan dimana saat itu kami sedang membacakan kitab pada beliau di Masjidil Haram, Syaikh menelepon ibunya dan kemudian disambung lagi pelajaran saat itu
4. Ibunda Syaikh tidaklah terus menerus tinggal bersama Syaikh. Berpindah-pindah, terkadang tinggal di rumah Syaikh namun terkadang di rumah anaknya yang lain (saudara kandung Syaikh). Tatkala tinggal dirumah Syaikh, maka Syaikh Al Barrak tidak tidur dengan istrinya, tapi tidur bersama Ibunya dikamar Ibunya dengan maksud siap sedia memenuhi segala permintaan Ibunya
5. Diantara bentuk memenuhi hajat Ibunya, adalah Syaikh Al Barrak senantiasa berdiri menuntun memegangi tangan ibunya, karena Ibunya sudah lambat dalam berjalan. Syaikh mengantar untuk pergi ke kamar mandi sampai ibunya duduk dikursi khusus baginya. Kemudian Syaikh menunggu hingga ibunya menyelesaikan keperluannya di kamar mandi, setelah itu Ibunya diantar lagi ketempat semula. Ini semua dilakukan Syaikh, walaupun ada anak-anak perempuan Syaikh dan istrinya
6. Diantara bentuk bakti yang lain, Syaikh Abdurrahman Al Barrak hafidzahullah tidak pernah memutus kebiasaan Ibunya. Saya pernah membaca kitab dihadapan beliau disuatu hari dipelataran rumah beliau dipintu masuk khusus laki-laki. Pelajaran yang disampaikan Syaikh di sore hari biasanya tidak terputus kecuali apabila terdengar adzan maghrib. Tatkala menjelang adzan maghrib beliau meminta saya keluar dari rumah. Ini bukanlah kebiasaan Syaikh sebelumnya. Setelah Isya tiba-tiba Syaikh meneleponku di rumah, beliau meminta maaf dari kejadian dihari itu dan memberitahu bahwa dilakukannya hal tersebut karena Ibunya punya kebiasaan berwudhu untuk shalat maghrib di keran air disebelah pintu dimana kami tadi berada.
7. Syaikh Al Barrak sangat memperhatikan keinginan Ibunya. Adalah kebiasaan Syaikh bermajlis dengan tamu-tamunya hingga adzan tiba kemudian mereka keluar untuk sholat. Namun jika sedang ada ibunya, maka Syaikh akan berdiri sebelum adzan tiba karena hal ini kesukaan Ibunya yang sholehah
8. Tatkala semakin parah sakit yang dialami ibunya, maka Syaikh berusaha mengobatinya, beliau tidur bersamanya serta memberinya makanan dan minuman. Bahkan Syaikh kami ini apabila selesai sholat shubuh dari masjid, beliau menyiapkan minuman, kemudian memberikannya kepada Ibunya, atau terkadang mendinginkan minuman tersebut untuk ibunya. Semua ini dilakukan beliau dengan keadaan beliau yang buta matanya. Setelah itu beliau kembali ke masjid untuk menyampaikan kajian shubuh.
Disarikan dari tulisan Abu Muhammad Al Qohthoni di forum http://www.ahlalhdeeth.com dengan sedikit penambahan
[1] Usia Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak hafidzahullahsaat ini 78 tahun. Beliau sudah menjadi yatim sejak balita, yakni saat umur setahun. Diusia 10 tahun beliau terkena penyakit dimatanya sehingga tidak bisa melihat sampai saat ini.
Diantara guru beliau yang sangat berpengaruh adalah Al Allamah Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, dimana lebih dari 50 tahun belajar dengan beliau rahimahullah. Syaikh Ibn Baz seringkali meminta beliau untuk masuk lembaga fatwa namun ditolaknya. Syaikh bin Baz pun ridho pada Syaikh Al Barrak untuk menggantikannya berfatwa di Darul Ifta di Riyadh di saat musim panas tatkala para mufti pindah tempat ke kota Thaif, Syaikh Nashir Al Barrak ini dengan malu memenuhinya, namun itu dilakukan hanya dua kali, setelah itu ditinggalkannya.
Setelah wafat Syaikh Bin Baz, seringkali Syaikh Alu Syaikh mufti sekarang meminta dengan sangat agar beliau menjadi anggota lajnah ifta namun beliau keberatan untuk memutus pelajaran yang biasa beliau sampaikan di masjid.
Sumber: direktori-islam.com
Memetik Faidah Akhlaqiyah dari Kisah Al-Allamah Ibnu Baz
Penulis: Ustadz Abu Salma Al-Atsary
Syaikh Al-Muhaddits ‘Adnan ‘Ar’ur hafizhahullahu menyampaikan bahwa beliau mendengarkan wasiat yang sering diucapkan oleh Muhaddits abad ini, al-Allamah al-Albani rahimahullah :
“Ajarkanlah aqidah yang lurus kepada umat dan ajarkan akhlaq yang mulia kepada salafiyyin”. (Tanya Jawab bersama Syaikh Ar’ur dalam almanhaj.net)
Syaikh Ahmad Farid hafizhahullahu berkata bahwa manhaj salaf itu bukan sekedar teori tanpa amal, bukan sekedar aqidah saja, namun manhaj salaf itu adalah aqidah, manhaj dan aklaq. (http://salafvoice.com)
Jika kita berbicara tentang perangai dan akhlaq ulama besar di zaman ini, tentu kita akan dapati berbagai faidah baik dari perkataan, perbuatan maupun arahan mereka. Al-Allamah Ibnu Baz rahimahullahu adalah salah satu ulama besar tersebut, yang beliau banyak sekali memberikan manfaat dan kontribusi bagi dakwah yang berkah ini.
Kisah beliau di bawah ini, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita untuk lebih belajar bermanhaj salaf secara lebih benar, terutama dalam masalah akhlaq.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Khudair, dalam ceramah beliau yang berjudul Manhajud Da’wah fi Ausathil Muslimina alladzina yumarisunal Bida’ mengisahkan :
“Sekarang saya akan menceritakan kisah lain kepada kalian yang pernah terjadi bersama Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. Ini adalah kisah yang sungguh mengagumkan. Ketika Universitas Islam di Madinah baru saja dibuka oleh Syaikh bin Baz rahimahullahu, tentunya beliau membutuhkan banyak ulama dari penjuru dunia Islam. Sedangkan metode Syaikh bin Baz adalah beliau melakukan pendekatan kepada seluruh kelompok tanpa membedakannya. Siapa saja yang masuk ke rumah syaikh, bermulazamah kepada beliau, pasti tahu bahwa inilah manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Namun beliau tidak pernah berkata suatu yang batil atau bahkan mengajak kepada kebatilan. Beliau juga tidak pernah mengingkari pelaku kebatilan dengan cara keras. Sebaliknya, beliau bersikap ramah, bergurau, mengunjungi mereka, tersenyum, memberikan hadiah dan memberikan bantuan kepada mereka atas setiap hal yang mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Inilah metode dan manhaj Syaikh bin Baz. Barangsiapa mengatakan selain ini maka ia telah berdusta. Beliau selalu menasehati, mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Tetapi dengan penuh kelembutan, kesantunan, hikmah, bijaksana dan murah senyum.
Diantara para masyaikh yang didatangkan untuk mengajar di Universitas Islam Madinah adalah masyaikh ahli qiro’ah dari Mesir, diantara mereka adalah Syaikh Abdul Fattah al-Qadhi. Beliau termasuk salah seorang ulama yang mengoreksi mushaf terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd.
Syaikh Abdul Fattah ini termasuk ulama yang tidak ada tandingannya di zaman ini dalam ilmu qiro’ah dan ulumul Qur’an. Beliau adalah ulama yang pengetahuannya tentang ilmu Qur’an bagaikan samudera.
Sebelum berangkat ke Madinah, orang-orang Mesir sudah memperingatkan beliau bahwa dia akan mendatangi kaum (Wahhabi) yang bersifat begini dan begitu. Berhati-hatilah dalam berbicara dengan mereka, karena jika tidak mereka tidak akan memaafkanmu.
Akhirnya Syaikh pun berangkat ke Madinah. Di Madinah, beliau sangat waspada dan berhati-hati, hanya saja beliau orang yang tempramental, walau pandai berdebat, tetapi jika beliau murka, akan keluar dari mulut beliau perkataan yang tidak layak.
Semoga Alloh merahmati beliau.
Singkat cerita, beliaupun diberi jadwal mengajar di Jami’ah dan mulai mengajar. Pada suatu waktu di tengah mengajar, secara tidak sadar beliau mengucapkan “wan-nabi” (demi Nabi).
Orang-orang Mesir memang memiliki kebiasaan bersumpah dengan nama Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam. Tiba-tiba seorang mahasiswa berdiri dan berkata :
“Ya Syaikh! Anda telah bersumpah dengan nama Nabi, padahal beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Alloh maka ia telah kafir atau musyrik” Diriwayatkan Tirmidzi.”
Syaikh tiba-tiba langsung berubah seperti orang gila, marah-marah dan berkata, “Saya kafir?! Saya Musyrik?! Saya yang mengajarkan al-Qur’an kepada kalian dan kalian mengatakan saya kafir atau musyrik?!!”
Emosi beliaupun mulai naik dan berbicara kasar memaki-maki mahasiswa tersebut. Beliau mengatakan mahasiswa tersebut dengan ucapan buruk, dikatakan bodoh lah, tidak punya adab, tidak punya sopan santun, dan lain sebagainya.
Padahal mahasiswa tadi hanya menyampaikan sabda Rasulullah, “Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Alloh maka dia telah kafir atau musyrik”. Akhirnya terjadi keributan keras di kelas antara mahasiswa dan Syaikh, sehingga kelas menjadi ricuh dan gaduh. Dengan kemarahan yang masih meluap-luap, syaikh langsung keluar dari kelas sembari berteriak-teriak,
“Kamu mengkafirkan saya?! Padahal saya adalah syaikh para ahli qiro’ah di Mesir! Apakah pada usia ini saya sudah menjadi kafir?! Setelah beruban seperti ini menjadi musyrik?!…” Beliau terus menceracau macam-macam…
Syaikh Abdul Aziz al-Qori’, ketua panitia pengawasan penerbita mushaf bertemu beliau dijalan, dan bertanya kepadanya, “ada apa ya syaikh? ada apa?”
Syaikh Abdul Fattah menjawab, “Anda tidak tahu apa yang dikatakan mahasiswa itu? Mereka mengatakan saya telah kafir! Mengatakan saya begini dan begitu!”
Syaikh Abdul Aziz berkata, “Sudahlah ya syaikh, mereka itu hanya mahasiswa, masih anak-anak. Mereka tidak bermaksud mengkafirkan anda, mereka cuma ingin menasehati anda.
Mungkin hanya salah ucap saja”
Syaikh Abdul Aziz yang menceritakan kisah ini kepada saya (Syaikh Muhammad Duwaisy) mengatakan bahwa beliau berupaya menenangkannya, dan akhirnya beliau mengajaknya untuk naik ke mobil beliau dan mengajak ke rumahnya.
Yang jelas, hari itu adalah hari terburuk bagi Syaikh Abdul Fattah. Beliaupun memutuskan untuk mengakhiri kontraknya mengajar di Jami’ah dan mempacking barang-barangnya untuk segera pulang ke Mesir, karena beliau mendengar bahwa kaum ini (Wahhabi) tidak akan memaafkan jika ada seseorang berbuat salah, mereka akan menghukumnya dengan hukum yang sangat keras.
Semenjak pagi Syaikh bin Baz sudah mendengar kejadian tersebut. Beliaupun menelpon Syaikh Abdul Aziz al-Qori untuk menjemput Syaikh Abdul Fattah dan membawa beliau ke kantornya.
Keesokan harinya, Syaikh Abdul Aziz dan Syaikh Abdul Fattah mendatangi kantor Syaikh bin Baz. Syaikh Abdul Fattah mengira bahwa dirinya akan diberhentikan dan dipecat. Beliau membayangkan bahwa Syaikh bin Baz akan mengatakan, “wahai Abdul Fattah,sesungguhnya kamu melakukan kesalahan yang besar, karena itu tidak ada tempat di sini bagi orang yang bersumpah dengan selain nama Alloh dan mengajarkan hal itu kepada anak didik kami di Universitas.”
Coba anda bayangkan apa yang dilakukan Syaikh bin Baz?!
Ketika Syaikh Abdul Fattah tiba, Syaikh bin Baz langsung bangkit menuju pintu, padahal beliau orang yang buta, dalam rangka menyambut dan menyalami Syaikh Abdul Fattah, beliau berkata :
“Bagaimana kabar anda ya Syaikh Abdul Fattah? Bagaimana keadaan Anda? Bagaimana di Jami’ah, senangkah Anda tinggal di sini? tinggal di Madinah?…”
Kemudian Syaikh bin Baz mempersilakan Syaikh Abdul Fattah duduk di samping beliau, lalu berkata kepadanya : “Ya Syaikh, anda kan tinggal sendirian di Madinah, bagaimana jika kami menikahkan Anda di sini agar Anda merasa nyaman dan ada yang melayani Anda?”
Syaikh Abdul Fattah terheran-heran, sebab tadi malam beliau mengira bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di kota Nabi Madinah. Namun Syaikh bin Baz sepertinya mengubah tema pembahasan dan sama sekali tidak membahas ucapan keliru Syaikh Abdul Fattah.
Beliau sama sekali tidak mengatakan, “anda telah salah, tidak faham sedikitpun! ahli bid’ah! orang sesat! miskin!!!…” Tidak, Syaikh bin Baz sama sekali tidak mengatakan demikian, karena hal ini adalah tidak pantas.
Syaikh Abdul Fattah sebenarnya adalah orang yang mudah untuk menerima kebenaran. Hanya saja perlu cara dan teknik tertentu agar beliau bisa menerima kebenaran dengan mudah.
Syaikh bin Baz terus saja menyenangkan hati beliau, bergurau dengannya dan sampai akhirnya Syaikh bin Baz berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, para mahasiswa itu terkadang tidak faham bagaimana cara berbuat sopan di hadapan para masyaikh. Karena itu seharusnya Syaikh bisa bersikap bijak terhadap mereka dan bersabar atas perlakuan mereka.” Syaikh kemudian menjelaskan kepada beliau, “Anda wajib mengajarkan kepada mereka sopan santun, menjadikan mereka terdidik, bertindak bijak terhadap mereka, tidak muda emosi akan kesalahan yang ada pada mereka. Anda sendiri pasti tahu bahwa
Anda adalah orang yang lebih pandai dari kita semua. Kita harus bersabar menghadapi mereka dan berdiskusi dengan mereka dengan cara yang hikmah.”
Akhirnya Syaikh Abdul Fattah melunak hatinya dan mengatakan “Baiklah Syaikh”, karena beliau tahu bahwa tindakannya kemarin adalah sangat tidak pantas.
Syaikh Abdul Aziz al-Qori, yang menceritakan hal ini kepada saya mengatakan, “Setelah itu kami keluar dari kantor dengan rasa penuh hormat dan kemuliaan. Kami pun beranjak keluar dari area Jami’ah. Kemudian saya bertanya kepada Syaikh Abdul Fattah, “Anda mau pergi ke mana wahai Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Saya ingin pulang ke rumah.” Saya berkata, “Baiklah, saya akan mengantarkan Anda ke rumah.”
Kemudian Syaikh Abdul Fattah naik mobil bersamaku, kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Wahai Syaikh Abdul Aziz al-Qori, saya punya permintaan.” Saya menjawab,
“Apa permintaan Anda?”. Beliau menjawab, “Orang-orang Wahhabi ini, saya ingin membaca buku-buku mereka.” Saya berkata, “baiklah”.
Setelah itu saya pilihkan beberapa buku karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan beberapa ulama lainnya, lalu kuberikan kepada beliau. Setelah itu beliau membacanya selama seminggu penuh tanpa henti siang dan malam.”
Syaikh Abdul Aziz al-Qori melanjutkan, “Seminggu kemudian saya mengunjungi beliau dan bertanya padanya, “Bagaimana buku-buku yang telah Anda baca? Bagaimana pendapat Anda tentangnya?”
Beliau menjawab, “Demi Alloh! Kalian semua adalah benar dan dulu Saya yang salah. Adapun orang-orang ahlus sunnah yang saya temui, mereka jauh sekali dari praktik yang terdapat dalam buku-buku ini. Saya sekarang sudah mengetahui kebenaran tersebut. Demi Alloh! Saya dulu meyakini bahwa kalian adalah orang-orang yang begini dan begitu… mudah-mudahan Alloh mengampuniku.”
Wahai saudara-saudaraku…
Apa yang mendorong beliau untuk membaca kebenaran dan puas menerimanya?! Jawablah pertanyaanku…
Tentunya ini semua dengan adab, kelemahlembutan, akhlaq yang mulia, kesabaran, sopan santun dan memenuhi kewajiban hak-hak seorang muslim, bukannya malah tindakan menghajr, membenci, mengucilkan dan lain sebagainya.
Wahai saudara-saudaraku…
Inilah akhlaq seorang alim besar, yang saya yakin bahwa saya dan anda bersepakat akan keilmuannya
Adakah kita mau mengambil dan memetik faidah ini?! Maukah kita bercermin kembali, sudahkah akhlaq kita mencerminkan akhlaqnya para salaf yang shalih?!
Ataukah kita malah gemar menghujat, mencemooh, mencela, mengucilkan, bahkan sampai menvonis bid’ah secara serampangan?!
Memang benar kiranya ucapan Syaikh al-Albani, bahwa “ajarkan aqidah kepada ummat dan ajarkan akhlaq kepada salafiyyin”. Karena memang sebagian saudara kita salafiyyin butuh untuk lebih mempelajari akhlaq yang mulia
Memang benar kiranya ucapan Syaikh al-Albani, bahwa “ajarkan aqidah kepada ummat dan ajarkan akhlaq kepada salafiyyin”. Karena memang sebagian saudara kita salafiyyin butuh untuk lebih mempelajari akhlaq yang mulia
Artikel: Abusalma.Wordpress.com dipublikasi ulang oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Surat Untuk Syaikh Bin Baz | Kisah Nyata Yang Mengagumkan
‘Ali bin ‘Abdullah ad-Farbi berkata :
“Diantara cerita yang paling berkesan kepadaku adalah, ada empat orang dari salah satu lembaga bantuan (kemanusiaan) di Kerajaan Arab Saudi diutus untuk menyalurkan bantuan di pelosok hutan Afrika. Setelah berjalan kali selama empat jam dan setelah lelah berjalan, mereka (4 orang utusan ini, pent.) melewati seorang wanita tua di salah satu kemah dan mengucapkan salam kepadanya lalu memberikannya bantuan. Wanita tua itu bertanya kepada mereka : “Kalian dari negara mana?” Mereka pun menjawab : “Kami dari Kerajaan Arab Saudi.”
Lalu wanita tua itu berkata : “Sampaikan salamku untuk Syaikh Ibnu Baz.” Mereka bertanya, “Semoga Alloh merahmati Anda, bagaimana Ibnu Baz bisa mengenal Anda sedangkan Anda berada di lokasi yang terpencil dan jauh ini?”
Wanita renta itu menjawab : “Demi Alloh, sesungguhnya beliau (Syaikh Ibnu Baz) mengirimkan uang 1000 real kepadaku setiap bulan setelah aku mengirimkan sepucuk surat kepadanya untuk memohon bantuan dan pertolongan setelah (meminta) pertolongan Alloh Azza wa Jalla.”
(Tabloid Al-Madinah no 12182)
Dialihbahasakan secara bebas dari : Kullassalafiyin
Artikel: Abusalma.Wordpress.com dipublish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Kisah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dengan Polisi Lalu Lintas
Diceritakan dalam muqoddimah Syarah Shahih Bukhori bahwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin suatu ketika menaiki mobil yang dibawa temannya. Berangkat dari Unaizah menuju Buraidah untuk suatu kepeluan penting dengan sebuah lembaga sosial. Si sopir yang juga pemilik mobil membawa mobil dengan kecepatan tinggi sehingga diberhentikan oleh polisi.
Melihat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ada di dalam mobil, polantas tersebut mengizinkan mobil yang ditumpangi Syaikh untuk terus saja. Lantas Syaikh menanyakan apa sebenarnya yang terjadi, maka ia memberitahukannya.
Syaikhpun serta merta berkata: ” balik lagi ke tempat tadi! “. Lalu beliau bertanya kepada polisi tadi.
Syaikh: ” Mengapa anda menghentikan laju mobil kami? “
Polisi: ” Karena laju mobil melebihi batas kecepatan “
Syaikh: ” Lantas mengapa anda tidak menilang kami? “
Polisi: ” Barangkali kali anda berdua sedang terburu-buru karena masalah penting, ya Syaikh!”
Syaikh menolak dan bertanya berapa ongkos tilang karena melanggar peraturan, ternyata biayanya 300 real.
Syaikh: ” Ini 150 real dari saya, dan ambilah 150 realnya lagi dari teman saya ini! karena ia telah melanggar peraturan sedangkan saya tidak menasehatinya”
Demikianlah salah satu kisah dari sifat wara’nya Syaikh Muhammad Shalih ‘Utsaimin rahimahullah
Artikel: lautanilmu.com di publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Kisah Lucu Dari Syaikh Al-Albani | Sedikit Cerita Unik Tentang Syaikh Al-Albani [4]
Di masa lalu, ada seorang yang dianggap mufti (ahli fatwa) oleh manusia. Dia berhalangan karena hendak safar, maka anaknya diminta menggantikan posisinya selama dia safar. Bapaknya sadar bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang ilmu syariat atau yang berkaitan majlis fatwa. Sadar dengan hal itu, Si Anak berkata : “Wahai Bapakku! Bagaimana aku menggantikan posisimu, aku kan tidak tahu apa-apa!?
Bapaknya menjawab : ”Saya akan beri satu petunjuk yang membuat engkau selamat sampai aku kembali”.
Si Anak menimpali “Apa itu?”.
Bapaknya menjawab,” Nanti setiap ada yang bertanya padamu bertanya suatu masalah, tinggal katakan saja “Fil mas-alah qoulani” (Dalam masalah ini ada dua pendapat) tidak usah berpanjang lebar. Misalnya nanti ada orang datang bertanya : Wahai Tuan Syaikh! Seseorang sholat dzuhur kurang rakaatnya, apakah sholatnya batal atau tidak. Jawab saja “Ada dua pendapat dalam masalah ini”. Beres. (Maksudnya ada pendapat yang mengatakan batal dan pendapat lain mengatakan tidak batal). Misal lagi nanti ada yang datang bertanya ,”Wahai Tuan Syaikh!, Saya telah menikahi istriku tanpa izin walinya apakah sahih akad nikahnya? Jawab saja “ada dua pendapat dalam maslaah ini”. Cukup begitu saja.
Kemudian si Anak nya mengucapkan : Wahai Bapak, Jazaakallah khoir, dan si Bapak pun pergi. Kemudian datangalah orang-orang. Begitulah, setiap ada pertanyaan dijawab sebagaimana yang telah direncanakan, tanpa malu dengan jawaban singkat tersebut.
Kemudian diantara mereka ada seseorang yang cerdas, mengetahui bahwa orang ini jahil dan mengkhawatirkan pengaruhnya kepada yang lain. Dan dia suruh seseorang disebelahnya untuk bertanya:
Apakah pada Allah ragu? (A fillah syakkun?)
Ketika ditanyakan, Si Mufti (palsu) itu menjawab : Dalam masalah ini ada dua pendapat….(tertawalah majlis syaikh Albani).
Syaikh Albani mengatakan bahwa hakikat cerita ini bisa saja khurafat tapi ini nyata persis seperti kondisi sekarang. Bagaimana manusia menyangka sebagian orang itu ahli ilmu, ahli fiqih, padahal orang tersebut hanyalah orang jahil, namun disebut oleh manusia sebagai kaum cendekiwan.
Cerita dengan suara asli Syaikh Albani rahimahullah bisa di download disini
Artikel: Salafyitb.Wordpress.com publikasi ulang oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Fatwa Seseorang Yang Belum Merasakan Enaknya Terkena Denda | Sedikit Cerita Unik Tentang Syaikh Al-Albani [3]
Ada seorang pemuda penuntut ilmu pernah naik mobil bersama Syaikh al-Abani ~rahimahullah~. Syaikh al-Abani mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Melihatnya, maka pemuda itupun menegur:” Wahai Syaikh, ini namanya ‘ngebut’ dan hukumnya tidak boleh. “ Syaikh ibnu Baz mengatakan bahwa hal ini termasuk menjerumuskan diri dalam kebinasaan.”
Mendengarnya, Syaikh al-Albani ~rahimahullah~ tertawa lalu berkata: ” Ini adalah fatwa seseorang yang tidak merasakan nikmatnya mengemudi mobil!!.” Pemuda itu berkata: “ Syaikh, akan saya laporkan hal ini kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz.”
Jawab Syaikh al-Abani,” Silahkan, laporkan saja.”
Pemuda itu melanjutkan ceritanya: “ Suatu saat, saya bertemu dengan Syaikh Abdul Aziz bin Baz ~rahimahullah~ di Makkah maka saya laporkan dialog saya dengan Syaikh al-Abani ~rahimahullah~ tersebut kepada beliau.
Mendengarnya, beliau juga tertawa seraya berkata: Katakan padanya: ” ini adalah fatwa seseorang yang belum merasakan enaknya terkena denda!”
[Al-Imam Ibnu Baz, Abdul Aziz as-Shadan hlm. 73]
Artikel: Moslemsunnah.Wordpress.com
Syaikh al-Albani ~rahimahullah~ bercerita:
“Setelah aku membeli sebidang tanah di luar kota, karena harga tanah di sana murah, aku langsung membangun sebuah rumah lengkap dengan toko. Setelah semuanya beres, aku baru sadar bahwa jarak antara rumahku dengan perpustakaan azh-Zhahiriyyah yang sering aku kunjungi lumayan jauh. Dahulu aku bekerja satu atau dua jam di tokoku sebelum perpustakaan itu dibuka.
Kemudian aku membeli sebuah sepeda, sementara itu baru pertama kali penduduk kota Damaskus menyaksikan pemandangan langka seperti ini, yakni seorang Syaikh bersorban naik sepeda. Wajar saja mereka langsung heran dengan pemandangan ini.
Dan pada waktu itu juga ada sebuah majalah yang bernama al-Mudhhik al-Mubkî (lucu yang membuat nangis), yang diterbitkan oleh seorang nasrani. Ternyata dia memasukkan pengalaman ini di majalahnya. Tetapi aku tidak peduli dengan hal remah seperti ini, karena yang paling penting bagiku adalah waktu. “
(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 47, hal.51)
Artikel: www.majalahislami.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Kisah Apik Dari Mobil Yang Terbalik | Sedikit Cerita Unik Tentang Syaikh Al-Albani [1]
Syaikh Ali Khasysyan (beliau adalah salah satu murid Syaikh al-Albani ~rahimahullah~ yang berasal dari Syiria dan sekarang berdomisili di Arab Saudi) bercerita dalam sebuah artikelnya yang berjudul Nâshir al-Hadîts wa Mujaddid as-Sunnah, ‘Âsya wahîd al-’Ashr wa Ashbaha Faqîd al’Ashr, yang pernah dimuat pada majalah asy-Syaqō`iq, di dalamnya ia bercerita tentang Syaikh Nashiruddin al-Albani -rahimahullah-. Ia berkata:
“Demi Allah, seingatku tidak pernah kedua mataku melihat seorang yang lebih antusias dalam berpegang teguh dengan as-sunnah, lebih semangat dalam menyebarkannya dan lebih mengikutinya daripada Syaikh al-Albani ~rahimahullah~.
Pernah suatu ketika mobil yang beliau kendarai terguling di suatu daerah antara kota Jedah dan Madinah. Orang-orang pun panik lalu berteriak: “Ya Sattâr (Yang Maha menutupi), ya Sattâr,” (oleh sebab panasnya suhu udara di sana).
Seketika itu pula Syaikh mengomentari ucapan mereka -padahal beliau masih berada di bawah mobil yang terbalik- seraya berkata: Ucapkanlah, Ya Sittîr[1], jangan kalian mengucapan, “Ya Sattâr,” sebab as-Sattâr bukan termasuk nama Allah, dan dalam sebuah hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّـهَ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ السِّتْرَ.Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha menutupi dan suka menutupi (hamba-hamba-Nya). (Hadits shahih. Lihat Irwâ` al-Ghalîl, karya beliau, no. 2335)
Pernahkah kalian melihat seorang yang masih sempat-sempatnya menyebarkan sunnah dan hadits pada situasi seperti ini pada zaman sekarang? Demi Allah, tidak ada kecuali kisah tentang Umar bin al-Khaththab -radhiallohuanhu- dan Ahmad bin Hambal -rahimahullah- atau selain keduanya dari ulama salaf dahulu.”
Penerjemah Abu Musa al-Atsar
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 49, hal. 59
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 49, hal. 59
Footnote:
[1] Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullâh berkata: “As-Sittîr artinya Yang selalu Maha menutupi hamba-hamba-Nya, tidak mencemarkan keburukan mereka di khalayak ramai, Yang Maha mencintai mereka untuk selalu menutupi diri mereka masing-masing dari apa-apa yang dapat mencemarkan nama baik mereka, menghinakan mereka dan menjatuhkan harkat dan martabat mereka. Ini merupakan keutamaan dan rahmat dari Allah ….” (Fiqh al-Asmâ` al-Husnâ, karya beliau, hlm. 307, Cetakan Maktabah al-Malik Fahd), pen.
Artikel: www.majalahislami.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Syaikh Ibnu Baz, Begitu Sederhana Hafalannya Luar Biasa
Syaikh Ibnu Baz adalah seorang yang sangat tidak perhatian dengan dunia sebagaimana yang bisa kita ketahui dari keadaan beliau. Terlebih jika kita tahu bahwa beliau itu tidak memiliki rumah!!!.
Dr Zahrani pernah berupaya untuk meminta izin kepada beliau untuk membeli rumah yang biasa beliau tempati jika berada di Mekah karena rumah tersebut biasanya cuma disewa. Komentar beliau,
“Palingkan pandanganmu dari topik ini. Sibukkan dirimu untuk mengurusi kepentingan kaum muslimin”.
Suatu ketika Raja Faishal berkunjung ke kota Madinah dan Syeikh Ibnu Baz ketika itu adalah rektor Universitas Islam Madinah. Ketika itu raja Faishal berkunjung ke rumah Syeikh Ibnu Baz. Saat itu raja Faishal berkata kepada beliau,
“Kami akan bangunkan rumah yang layak untukmu”.
Menanggapi hal tersebut, beliau hanya diam dan tidak berkomentar. Akhirnya rumah pun dibangun. Ketika panitia pembangunan mau membuat surat kepemilikan rumah atas nama Syeikh Ibnu Baz beliau berkata,
“Jangan. Buatlah surat kepemilikan rumah tersebut atas nama rektor Universitas Islam Madinah sehingga jika ada rektor baru penggantiku maka inilah rumah kediamannya”.
Syeikh Ibnu Baz itu memiliki daya ingat yang luar biasa. Jika kita bertemu dan mengucapkan salam kepada beliau dan kita pernah mengucapkan salam kepada beliau beberapa tahun sebelumnya maka beliau pasti masih mengenal kita.
Bahkan ada orang yang bercerita bahwa dia bertemu dan mengucapkan salam kepada Syeikh Ibnu Baz setelah lima belas tahun ternyata Syeikh Ibnu Baz masih ingat dengan namanya.
Akan tetapi yang lebih mengherankan adalah kemampuan beliau untuk menghafal jilid dan halaman buku. Bahkan beliau bisa mengoreksi beberapa buku dengan bermodalkan hafalan beliau.
Syeikh Syinqithi, penulis Adhwa-ul Bayan, itu tergolong guru Syeikh Ibnu Baz. Beliau adalah seorang pakar dalam ilmu syar’i dengan kekuatan hafalan yang tidak tertandingi. Syeih Ibnu Baz sering menghadiri ceramah-ceramah yang disampaikan oleh Syiekh Syinqithi. Beliau kagum dengan cepatnya Syeikh Syinqithi dalam penyampaiannya. Dalam salah satu kaset Syeikh Ibnu Baz mengungkapkan kekagumannya dengan mengatakan, “Maa syaallah. Maa syaallah”.
Satu hari Syeikh Syinqithi sejak usai shalat Shubuh sampai watu dhuha mencari-cari sebuah hadits yang dinyatakan oleh Ibnu Katsir ada dalam sunan Abu Daud. Beliau bolak-balik kitab sunan Abu Daud namun beliau tidak kunjung mendapatkannya. Syeikh Syinqithi berkata,
“Aku tidak menyalahkan Ibnu Katsir namun aku belum mendapatkannya. Ketika aku sedang asyik mencari tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Aku lantas berdiri dan membuka pintu”.
Ternyata Syeikh Ibnu Baz yang datang bertamu. Ketika Ibnu Baz masih di depan pintu dan belum masuk ke dalam rumah, Syeikh Syinqithi berkata,
“Ya Syekh Abdul Aziz, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa hadits yang bunyinya demikian dan demikian itu ada di Sunan Abu Daud. Sejak usai shalat Shubuh kucari-cari hadits tersebut namun tidak kudapatkan. Di manakah hadits tersebut?”.
Syeikh Ibnu Baz berkata,
“Ada…ada di kitab ini halaman sekian”.
Syeikh Syinqithi,
“Sekarang silahkan masuk ya Syeikh”.
Syeikh Ibnu Baz memiliki daya ingat yang luar biasa. Ini disebabkan tentunya karunia Allah kemudian beliau adalah seorang yang tidak pernah lepas dari berdzikir. Lisan beliau selalu basah untuk berdzikir mengingat Allah. Beliau senantiasa berdzikir. Ini adalah sebuah realita yang bisa disaksikan oleh orang yang bertemu dengan beliau meski sejenak.
Syeih Ibnu Baz mulai mengisi kajian dan menyebaran ilmu sejak belia. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh sebuah majalah yang bernama al Majallah dengan Ibnu Baz terdapat dialog sebagai berikut.
Al Majallah, “Sungguh engkau adalah seorang hakim akan tetapi engkau mendapatkan popularitas yang luas berbagai dengan para hakim yang lain. Apa rahasianya?”
Jawaban beliau,
“Kami bertugas sebagai hakim. Setelah jam kerja berakhir kami mengisi berbagai kajian. Kami adakan berbagai kajian keislaman dan kami terus mengajar dan mengisi pengajian sehingga Allah jadian kami manusia yang bermanfaat bagi banyak orang”.
Beliau memang memiliki pandangan khas tentang tugas seorang hakim peradilan syariah. Beliau berpandangan bahwa seorang hakim tidak cukup dengan menjalankan tugasnya di pengadilan. Beliau mencela para hakim yang bersikap semacam itu.
Beliau pernah mengatakan,
“Jika seorang hakim hanya mencukupkan diri memutuskan sengketa tentang onta, keledai, sapi dan kambing atau semisalnya maka tidak ada kebaikan pada dirinya. Bahkan tugas hakim yang paling penting adalah amar makruf nahi munkar, berdakwah, memperbaiki lingkungan sekitarnya, mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin dan menghubungkan orang-orang yang memerlukan untuk dihubungkan”.
Ketika Ibnu Baz menjadi hakim di daerah Dalm, beliau memiliki kursi terbuat dari tanah di tengah-tengah pasar. Di situlah beliau memutuskan berbagai sengketa yang terjadi di antara kaum muslimin.
Artikel: ustadzaris.com
Langganan:
Postingan (Atom)