Sabtu, 19 November 2011

Berjalan Beriringan dengan semut

oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 7 Oktober 2010 jam 13:20
Sudah 12 tahun aku terdampar disini, mengikuti jalannya takdir. Pada awalnya ku diajak teman sekampung sebagai buruh bangunan, berdebu dan berkeringat, semua ku kucurkan dengan sebuah harapan atas semua usaha ku.
Kota ini semakin berkembang, bahkan tumbuh melebihi pertumbuhan rata-rata pertumbuhan nasional.

Dan pada akhirnya, kini ku merasa nyaman di pekerjaan ku saat ini, ya cuma penjaga taman kota, tapi begitu ku nikmati, meski tidak dalam status pegawai, hanya tenaga kontrak.

Pada awalnya, aku hanya buruh bangunan dalam pekerjaan pembangunan taman ini, tapi pada saat penyelesaian pekerjaan, rasa sayang ku terhadap tanaman bukan cuma memunculkan sekedar menyelesaikan pekerjaan. Membuat seseorang dengan seragam dinas mendatangi ku dan mengeluarkan sebuah kalimat.
"dek, saya suka dengan sentuhan akhir garis taman ini, bersediakah adek saya pekerjakan sebagai tenaga penjaga taman ini, meski cuma sekedar tenaga kontrak, tapi siapa tahu ada jalan bisa jadi diangkat PNS nantinya?"

Kalimat yang seperti air bersih memandikan debu dan keringat ku. Tanpa jawaban, kepala ku mengangguk dan sekian detik kemudian mulutku berucap, "terima kasih pak."

Sudah delapan tahun ku tekuni pekerjaan ini, mengerjakannya dengan teliti, menyapa rumputnya setiap pagi, memangkas tanamanannya dengan kasih sayang. Menyirami pokok tanamannya dengan ku sertai doa. Begitu ku nikmati, tanpa keluh kesah dan terus bekerja.

Hingga begitu lama ku disini, tanpa terasa, semua begitu akrab, bukan cuma tanaman dan segala pernik taman kota ini, bahkan pengunjung yang berulang kali datang biasa bertegur sapa dengan ku, meski cuma sekedar basa basi, dan anak-anak mereka pun terbiasa menyapa ku dengan panggilan "ami,.."

Sekian lama tegur sapa itu, sudah lama hingga terkadang ku lupa atas harapan diangkat sebagai pegawai negeri. Dan waktu pun menghadirkan pasangan hidup ditaman ini, menghasilkan dua buah hati, mengisinya dalam hati dan hari.

Dan hari ini, aku duduk termenung, hal yang lama tak kulakukan, menatap hijau dedaunan, mengisi pikiran dengan beragam perenungan.

Derap kota ini begitu melaju kencang, melintasi jalanan berdebu dan menggantinya dengan jalanan yang lapang. Tanpa sadar surat itu menyatakan bahwa aku harus mengalah oleh kata perkembangan.

Ya, rumah yang ku diami, bersama istri dan para buah hati. Sebuah rumah tumpangan di tepi taman, kini harus digusur, dan bertambah jadi bagian luasan taman itu seiring kebijakan tentang kawasan hijau, bukan hanya aku, bahkan para pedagang itu harus rela disisihkan.

Hari ini, tersadar aku, gaji ku tak cukup untuk mengenal kata menabung, hanya bisa disisihkan oleh istri dan itu pun sudah terpakai untuk anak pertamaku yang mulai masuk sekolah.

Sandarkan kepala ku menengadah, menatap ranting pohon mahoni yang bertautan dengan pohon asem, sebaris pasukan semut menyeberanginya. Membuat ku terkenang percakapan semut yang mengingatkan temannya untuk menyingkir saat pasukan megah Nabi Sulaiman melintasi lembahnya.

Dan aku harus tersingkir.

Adzan dzuhur menggema, menyadarkan ku dari anganan, dan menempatkan ku dalam kondisi bagian dari Pasukan Nabi yang tersenyum dalam doanya.

"maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa :'Ya Tuhanku, berikan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi; dan masukkan aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". QS 27 : 19 "

Maaf kan aku semut karena tak bisa berlama lama dalam barisanmu, genderang perang ku ada disini, ada di kaum yang sama dengan kaum Nabi yang kaya dan seorang raja. Dan yang kami sembah adalah Maha Raja dan Maha Kaya.

ELEGI ACACIA LONGIFOLIA

oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 18 Oktober 2010 jam 4:30
Dua hari lagi, aku akan pergi. Meninggalkan Anind. Dan karena itu, tiga hari yang lalu kami berdua duduk disini. Dibawah pohon akasia, dibangku beton sudut kampus. Bukan tempat yang benar benar sunyi, lalu lalang kendaraan di perempatan itu terlihat jelas, dan orang yang berlalu lalang pun bisa melihat jelas kami. Karena pagar kampus hanya dari susunan kawat harmoni.

Terlintas bayangan awal percakapan kami diperpus saat itu, ku menghampiri seorang gadis dengan jilbab abu abu dikala sunyi. Dengan percaya diri ku duduk disampingnya, lantas menyapa, "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam", jawabnya.
"Boleh ku duduk disini, sambil menemani mu?"
Dia tak menjawab, membuka tas, meraih pena dan selembar kertas catatan, menulis sesuatu, dan menyodorkannya pada ku.

"Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahromnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barang siapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin."

Seperti sebuah larangan dan teguran keras.
"Terima kasih mbak." ucap ku sambil berlalu.

Tapi seiring waktu, kami sering bertemu diperpustakaan, dan kami menjadi saling melempar salam saat bertemu. Dia menjadi familiar dengan ku, dan dikala ada pengujung lain diperpustakaan itu, maka ku selalu memberanikan diri duduk disampingnya dengan selisih satu bangku. Sesekali ku selingi percakapan menanyakan identitasnya dan dari situ aku tahu nama dan angkatannya.

"Anind," ku menyapanya, adik angkatan beda jurusan dengan ku.
"ya mas, baca buku apalagi?" balasnya.
"hehehe,.. Novel nind, Omerta, ku bawa dari rumah" balas ku, "kamu baca apa?"
"biasalah mas, journal sapi perah."

Dia pernah berkata, sangat tertarik dengan sapi perah dan menunjukkan sebuah ayat kepada ku, "Dan di antara ada yang buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga. (Al-Baqarah : 78)".
"Agar kita tidak sekedar menduga-duga mas, saat di butuhkan saran dari kita tentang sapi perah, maka ku suka membaca journal tentang sapi perah."

"Hmm,.. Gitu ya, bagus deh." respon ku saat itu. Aku cuma tersenyum. Dan menggumam dalam hati, "aku ga peduli sama akademis mu, aku disini tertarik oleh daya tarikmu."
Jujur, wajahnya bukan dalam kategori kecantikkan yang sempurna, tapi auranya memancar dari ketegasan saat mengatakan tidak dan kerapian menyimpan perasaannya saat ku bercanda.

Sekian waktu berlalu, dan kami menemukan satu tempat selain perpustakaan, sengaja ku undang dia, untuk mau menemaniku. Satu tempat yang harus ku promosikan terlebih dahulu, bahwa tempat itu bukan lah tempat yang sunyi, tapi aku bebas bercerita tentang ide ide yang sering kali ku selingi canda tawa ku. Karena teramat sering ku mendapat teguran dari penjaga perpustakaan dan pengujung lainnya.

Akhirnya dia mau, entah karena apa, tapi ku tak peduli, karena aku butuh teman bicara. Bangku beton ini berbentuk Letter U, dia duduk kearah jalan dan gedung kampus seberang. Matanya terlalu sering menatap kedepan dan kebawah, tanpa pernah menoleh ke arah ku. Dan aku duduk diarah samping dengan jarak yang sengaja ku buat untuk menjaga perasaannya.

Aku bercerita tentang apa saja, bahkan aku tahu mungkin dia tidak setuju atas pendapat ku, tapi dia tak bosan menemani ku. Ada kala ku bercanda dengan cerita cerita lucu, aku tertawa, dan sesekali meliriknya, hanya senyum simpul yang terbaca dari mata ku. Aku tak pernah berani menatapnya lama lama, hanya sesekali mencuri pandang dari ekor mata.

Bahkan kadang kala, aku tak bercerita apa apa, cuma mengajaknya mengamati orang orang yang berlalu lalang di seberang pagar. Saat seperti itu kami hanya terdiam. Karena ku di sibukkan menganalisa proses apa yang di alami para pejalan kaki, sehingga aura wajah mereka nampak seperti itu. Ada wajah letih, ada wajah sumringah, ada wajah sedih, ada wajah kusut, dan ada banyak wajah yang seperti terburu buru.

Sebelum tiga hari yang lalu itu, kami jarang bertemu, kemungkinan dia mulai disibukkan dengan aktifitas pratikumnya. Ada rasa rindu yang menyerebak, tapi tak ku paksakan utk bertemu di selain dua tempat itu. Dan tiga hari yang lalu, ku sengaja mencarinya di perpustakaan, ku lihat dia ada di baris kedua, berdua dengan temannya. Ku hampiri, "Nind, aku mau bicara, penting. Kita bicara di bawah pohon akasia ya ?" aku bicara dengan sedikit pinta.

Tak lama, dibereskan buku buku dihadapannya, dan sedikit basa basi dia permisi dengan temannya.
Bergegas aku berlalu, dan ku tahu dia mengikuti langkah kaki ku. Ku perlambat langkah kaki ku, meski ku tahu, Anind takkan pernah mau mensejajariku.

Sesampainya di bawah pohon akasia, ku duduk, dan menantinya bisa siap menerima semua kata kata yang sengaja ku siapkan iramanya.

"nind, aku harus pergi."

"mau naik gunung lagi mas?"

"bukan, aku mau pergi." tiga kosakata itu sengaja ku ucapkan dengan jeda, biar dia tahu maknanya.

"kemana ?" dari ekor mata ku, baru kali ini ku menyadari dia berani menatapku.

"aku terlalu banyak membaca yang tak ada hubungan dengan akademis kita, dan aku merasa harus mengembara, aku tak tahu buku mana yang paling benar untuk dahaga jiwa. Aku harus mencari kebenaran di dunia luar sana."

"bagaimana dengan kuliah mas?" kali ini bisa ku baca sendu dua bola matanya.

"ku tinggalkan," ku hela nafas, "pendidikan formal menjadi racun di jiwa bebas ku nind"

Dia tak mendebatku, sesuatu yang ku harapkan, "aku tahu jiwa mas, dan aku tahu arti kata percuma saat memberikan saran kejiwa yang sedang membara."

"Maafkan aku mas, aku tak bisa berlama-lama, jadwal kuliah berikutnya sudah menunggu."
"Temui aku tiga hari ke depan disini, di jam yang sama ya mas."
"Permisi dulu mas, assalamualaikum," wajah sendu Anind pun berlalu.

Dan hari ini aku sudah menunggunya terlebih dahulu, duduk tercenung, berpikir, betapa rapi dia menyimpan perasaannya, meski sekelebat ku bisa baca kalau ada rasa itu di hatinya. Dan begitu juga aku. Karena itu hanya pada Anind ku ungkapkan kegelisahan ku.

"Assalamualaikum." sebuah suara menyadarkan dari lamunan ku, sebuah resonansi yang akrab di hati ku, menimbulkan debar yang tak menentu.

"Masih membulatkan tekad untuk pergi mas ?" sebuah pertanyaan langsung menohok ulu hatiku.

" Iya Nind." jawabku dengan nada yg sedikit ku mantapkan, untuk menutupi rasa ragu yang menggoda, ragu untuk meninggalkan sesosok indah dalam relung batin ku.

"Aku tak berhak melarang mas untuk terus pergi." Suaranya terdengar lirih, dan kali ini, dan baru kali ini, kami saling menatap bola mata. Kulihat nanar bola matanya, begitu banyak makna dan sebenarnya ku harap dia meronta melarang hasrat meninggalkan semuanya.

"Aku tak bisa menemani mu lagi mas, sampai hari yang telah kau tentukan untuk pergi. Jadi ku ucap selamat jalan untuk dua hari nanti"

Tangannya menyodorkan sebuah kertas yang terlipat rapi. "Tolong di pahami ya mas."

Kali ini dia berlalu, membuat ku terdiam begitu dalam tanpa sempat berkata apa-apa.
Lima langkah kaki di menoleh, " Mas, kuatkan diri mu. Wassalamualaikum." Anind terus berjalan melangkah meninggalkan tatapan kedua dan mungkin terakhir kalinya.

Setelah bayangan langkah Anind tiada, ku buka lipatan kertas yang tadi disodorkan Anind kepadaku.
Perlahan, sebaris kalimat terbaca dan menyapa seperti menghenyakkan ke ego an ku.

"Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, " Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk menjual dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat. (Al-Baqarah : 79)"

Seberapa dalam kita mampu melihatnya

oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 21 Oktober 2011 jam 17:04
Seekor induk ayam betina, yg sdng mengerami telur-telurnya di dekat tepian pantai, malam itu terjaga saat mendengar seekor induk penyu merayap perlahan dibutiran putih pasir pantai.

Di perhatikan dgn seksama meski gelap, induk penyu itu menggali pasir putih, pelan dan pasti, ditemani riak gelombang kecil di tepian pasir pantai yg senyap, kaisan sang induk penyu terus terdengar meski hanya sayup dan perlahan, hingga penyu itu seperti terperosok di lubang galian yg cukup dalam.

Indera pendengaran msh terus memperhatikan tingkah laku sang induk penyu, setiap gerak penyu menimbulkan frekuensi yg tergambar dgn jelas di visualisasi induk ayam tersebut. Sang ayam tahu, induk penyu itu sdng mengeluarkan berpuluh2 butir telur, lebih byk yg dr kemampuan sang ayam bertelur.

Tapi tak berapa lama, diperhatikannya sang induk telur terlihat bekerja keras dgn sisa tenaga sehabis bertelur yg melelahkan, sang induk penyu menendang2 butiran pasir yg menumpuk di tepian lobang galian tadi. "Apa? Sudah gila kah induk penyu itu, tega sekali induk penyu itu, telur yang baru saja di lahirkannya dikubur dalam2 di lobang galian tadi."

Saat lobang galian telah rata dgn lapisan pasir sekitarnya, sang induk penyu pun perlahan2 bergerak menjauh, merayap kembali di kegelapan pantai, menuju di bebuih gelombang pantai yang kontinyu, induk ayam msh terus memperhatikan sang induk penyu yg mulai hilang di telan lautan.

"owh, induk yg tega, telur yg baru dilahirkan tega dia kubur dan kini di tinggalkan begitu saja."

Hari berganti hari, sekian lama sang induk penyu tadi tidak pernah di lihat induk ayam kembali utk memperhatikan telur2 yang telah dilahirkannya. Hingga tak sengaja ketika induk ayam mencari makanan utk dirinya agar menjaga tubuhnya hangat saat mengerami telur2nya, terlihat sebutir telur yang lemah tersingkap dr pasir tempat sang induk penyu menguburkan telur2nya.

"Telur yg lemah ini, kasihan sekali, cangkangnya yg lunak bgt tega di kubur dlm pasir dan di tinggalkan bgt saja oleh induknya, telur2 ku yg terlahir dgn cangkang yang keras saja harus ku jaga dan ku erami agar siap menetas menjadi seekor ayam."

Dan tak lama kemudian telur2 induk ayam itu menetas, cecericitnya begitu gaduh saat satu per satu mereka terlahir di dunia, dan menatap terangnya matahari. Dan hari2 induk ayam itu kini berganti, tak lagi mengerami telur2nya, tp berganti menjaga anak2nya dr gangguan yang mencoba mencelakai anak2nya, mengajari anak2nya mencari tempat makanan sampai mereka kuat hidup mandiri.

Hari2 induk ayam yg asik menjaga, melindungi dan mengajari anak2nya agar kuat menjalani hari hari sebagai ayam, sering kali dia perhatikan titik tempat sang induk penyu menguburkan telur2nya, sambil menggumam "telah hilang, mati dan telah menjadi tanah telur2 penyu yg lemah itu."

Hingga takkala siang yang teriak induk ayam melihat dgn jelas di butiran pasir itu perlahan keluar, satu per satu puluhan penyu kecil yg berpunggu keras seperti induknya, seperti berlomba berlarian ke arah deburan ombak pantai, dan tak ada ceicit lemah, yang ada hanya semangat mengarungi samudera dari penyu penyu kecil yang gagah seperti perenang ulung penyu induknya.




Induk ayam itu tak tahu, sang induk penyu setiap detik, setiap gerak kaki kecilnya berdoa :

" ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, lindungi lah telur2 lemah ku, lahirkan lah mereka sebagai pribadi pribadi yang tangguh, tegakkan lah punggung mereka dgn keberanian, keraskan lah bahu mereka dgn beban kerasnya kehidupan dunia ini."

Akulah kerbau yang bodoh itu

oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 12 Oktober 2011 jam 14:03
Seekor burung kecil berkata pada dirinya sendiri, " Betapa sepinya dunia ku ini, sunyi, sepi dan dingin." Setelah sekian lama dia jalani kehidupannya, membuatnya mengambil keputusan utk menyusuri kehidupan yang lain, yg di harapkan akan berbeda dengan ke seharian yg dia jalani.

Hingga tiba waktunya, di pagi hari saat matahari mulai terbit keputusan itu di jalaninya, maka yang paling masuk masuk akal menurutnya adalah mengejar matahari.
Mulai lah burung kecil itu terbang menuju matahari, mengejar kehangatan sinar matahari itu, terus di kepakkan sayapnya, bersemangat, angin yang berhembus tak membuatnya membelokkan arah, selalu menuju matahari.

Takkala matahari mulai meninggi, burung kecil itu terbang ke arah atas, hingga tak ada daya terbangnya yang semakin menanjak. Tepat mendekati siang hari, burung kecil itu pun kelelahan, hinggap dan beristirahat di pucuk dahan pohon tertinggi yang ada di dekatnya, merasakan kepuasannya mengejar matahari, sambil menerima terpaan panasnya siang yang menyengat, di hembus semilir angin membuatnya merasa tenang dan terlelap.

Takkala terbangun, matahari kembali condong ke arah barat, burung itu memperhatikan matahari, dan dia terkejut, matahari bergerak perlahan seperti menjauhinya.

Dia kembali merindukan saat matahari menerpanya begitu dekat, maka semangatnya terbangun utk kembali mengejar matahari. Kembali sayap kecilnya di kepakkan, membuatnya kembali melaju mengejar matahari.

Semakin semangat membakarnya, semakin cepat pula burung kecil itu terbang, semuanya wujud dr kerinduan diterpa hangat matahari yg serasa begitu dekat dgn hidupnya. Kecepatan yang sepertinya belum pernah di capainya, semangat itu bgt menyala-nyala, melajukan tubuhnya menuju matahari yg perlahan semakin menjauh ke arah barat.

Hingga di saat burung itu merasakan betapa matahari tidak lah kembali mendekat seperti pengejaran yang tadi, malah di rasakannya semakin jauh, meski burung itu merasa kecepatan terbangnya telah begitu cepatnya. Semakin cepat, dan lebih cepat lagi, dan tak terasa matahari semakin meredup di ufuk barat, perlahan dan pasti matahari telah meninggalkannya. Hilang menjadi gelap gulita, menjadi malam yang kelam dan mendinginkan.

Burung kecil itu, seperti kehilangan arah, tak tau mana yang harus di tuju, tak ada lagi matahari tempatnya mengarahkan kepakkan sayapnya.

Meski dia terus terbang, burung itu terbang dalam kelelahan. Kegelapan membuatnya hilang arah. Perlahan arah terbangnya menuju ke utara, semakin ke utara. Dalam lelahnya burung kecil itu tak berhenti mengepakkan sayapnya, semua adalah rasa rindu akan situasi yang di alami siang tadi, semakin ke utara.

Di rasakan burung kecil itu, rasa dingin semakin menguat, meski dia kelelahan, tak menghilangkan rasa dingin yg menyusup, semakin ke utara.

Hingga ada batas di mana burung kecil itu terbang dan di terpa butiran putih yang halus, yang melayang, yang mengaburkan jarak pandang, dan menguatkan rasa dingin yang menyelam. Semakin ke utara.

Tak di rasa, burung kecil itu telah memikul tumpukan putih di garis punggungnya, salju yg mulai membebaninya, tak menghentikan semangat terbangnya, yg mulai di rasakan kalah oleh kelelahan, daya terbang yang menurun, kecepatan yang memperpelan, ketinggian terbang yang mulai merendah, beban salju yg mulai memberatkan. Semakin ke utara.

Dan saat puncaknya, burung itu terbang rendah kelelahan, mendekati lapisan bumi yang di selimuti warna memutih, kelelahan membuat burung kecil itu terhempas tak berdaya, lelah, dan tak bisa berupaya, dan butiran putih salju terus menimpa, menimpa semakin lama dan membenamkan dlm gundukan yang menjebaknya, dan hanya tinggal kepala yang berdaya, saat anggota tubuh burung kecil itu membeku.

"Tuhan, beri kan pertolongan Mu." hanya itu yang bisa di upayakan sang burung kecil, di terus di ucapkannya, di ucapkannya hingga fajar mulai menyingsing, dan matahari kembali menerpakan sinarnya.

Tp salju yg menebal, tak juga mencair, msh membebaninya, masih membuatnya tak berdaya.

"Tuhan, berikan pertolongan Mu." hanya itu, yang bisa di lakukan. Masih berharap.

Dan, takkala putus asa burung kecil itu menyergap, tak berharap lg pertolongan datang. Putus asa, dingin membeku, sunyi menyergap, lelah menemukan tempatnya.

Datang lah seekor kerbau, seekor kerbau dungu, yang bergerak perlahan menghampirinya, sangat perlahan.

"Tuhan, kenapa kau kirimkan kerbau dungu ini, kenapa bukan makhluk lain yang bergerak sigap?" teriak sang burung kecil kesal akan sikap kerbau dungu itu.

Sang kerbau hanya diam, mendengus, dan hanya pergerak perlahan. Tak berkata atau menjawab teriakan sang burung kecil. Mendekat, dan lebih mendekat lagi, hanya diam, kerbau itu pun mengencingi gundukan salju yg menimpa burung kecil. Kencing yang kuat, menyirami burung kecil itu.

"Kerbau bodoh! Kenapa kau kencingi aku!"
"Bodoh! aku terperangkap, kenapa kau kencingi aku kerbau bodoh."

Masih terus diam kerbau itu, dan terus menyiramkan kencingnya yang hangat dengan kuat. Membongkar salju yg menguburi tubuh burung kecil itu.
Perlahan, dan pasti, gundukan salju terbongkar. Hingga burung kecil itu tak lagi terbenam.

Hanya diam, bergerak perlahan, kerbau itu kembali bergerak, dan 'plok', kerbau itu memberaki burung itu.

"Kerbau bodoh, kenapa kau beraki aku, Tuhan kenapa kau kirimkan kerbau bodoh ini yang hanya menambah beban ku"

Rasa hangat tai kerbau itu, memberikan kehangatan, menjalar, menyusupkan rasa hangat di setiap pembuluh darah burung kecil itu, rasa hangat, seperti membebaskannya dr rasa dingin yg membekukan.

Biduk Kecil


oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 01 Oktober 2010 jam 3:15

Sedari kecil, kulihat ayah keluar rumah dengan memikul dayung yang dibanggakannya, kadang diwaktu malam kadang diwaktu pagi, dan kadang disore hari, waktu yang yang tak menentu, mengikuti besaran bulan.

Sebegitu bangganya ayah dengan dayung dan perahunya, sering kali kududuk disekitar ayah dan teman temannya, dan ayah bercerita tentang kehebatan dayung dan perahunya, tak lupa sesekali dengan rendah hati memamerkan kemampuan dan kekuatan saat dilautan.

Aku sambil bermain disaat itu. Karena seringnya, telinga ku terlatih mencerna cerita seru cerita seru itu menjadi sebuah frame imaginasi, uh, hilir mudik ceritanya, meski berulang kali aku tak pernah bosan untuk terus mendengarkannya. Betapa hebatnya ayahku. Seruanku didalam hati.

Tapi bukan cuma itu teman, ada satu lagi kemampuan ayahku yang teramat suka kuselami, yang membedakannya dari ayah ayah temanku yang lain. Keahliannya memancing, ya itu, itulah yang akan ku gambarkan kepadamu.
Ketika nelayan lain menuju gugusan karang yang banyak ikannya, ayahku pun kadang kesitu, tak ada beda, dan ayah memakai alat pancing yang mungkin sama tapi bahkan ada nelayan lain memakai alat pancing yang lebih mewah. Tapi dimataku ayah tetap nomor satu dengan kemampuan memancingnya yang berbeda.

Jika nelayan lain memancing ikan dengan keinginan mendapatkan ikan yang banyak. Ayah ku tidak teman, saat beranjak pergi maka ayah akan bertanya kepada ibu, ikan apakah yang mau kita nikmati hari ini?
Dan saat ayah pulang maka ikan yang dibawanya cuma jenis itu, tidak terlalu banyak teman, sekedar utk lauk dan sebagian dijual, tetapi yang kuherankan, ikan yang dijual setiap hari, nilainya tidak jauh berbeda dengan hari hari lainnya.

Dan saat musim purnama dimana byk nelayan lain tak melaut ayah tetap pergi kelaut, dan hasilnya tetap sama. Begitu juga saat arus bawah laut menguat hingga warna air laut mengeruh, nelayan lain tak melaut, ayah msh pergi kelaut dan kembali lagi hasilnya selalu sama.
Uh, dibawah hujan badaipun ayah masih pergi kelaut, dengan rasa tenang penuh percaya dirinya, dan pulang dengan hasil yang sama.

Pernah berapa kali aku mengikuti ayah pergi kelaut, ku perhatikan apa yang menjadi istimewanya, hingga dalam suasana apapun hasil yang ayah bawa pulang selalu sama. Saat mata kail diturunkan ayah seperti berbicara dengan ikan, memanggilnya, bertanya, dan kadang seperti proses seleksi, aku tak melihatnya seperti orang bicara sendiri, tapi seperti ada lawan bicara yang pasti.

Luar biasa dimataku, bertambah rasa seganku, sampai aku lupa bertanya tentang itu. Kusimpan teman, kusimpan dalam rentang waktu, semua pertanyaan itu.

Hingga waktu itu mendekatiku, tubuhku yang meninggi melebihi ayahku, kelincahan tubuhku yang meningkat pesat, gelegar suara ku yang kini mengalahkan nada suara ayahku. Dan ayah memanggilku ditepi pantai. Ditunjuknya sebuah biduk kecil, dan diserahkannya dayung ditanganku, sambil berkata, "kini tiba waktumu."

Sebatang rokok disulut dibibir ayah, saat nyala apinya cukup, diserahkannya rokok itu untukku. Dan kunikmati hembusan rokok disuasana malam yang sunyi itu.
"kau perhatikan keseharian ayah?", suara ayah memecah sunyiku.
"iya yah", jawabku.
Mata ayah menusuk tajam dikedua bola mataku, "pertama, keberanian..." ada jeda saat ayah menghisap rokok yang diraih dari tanganku.
"bukan kau tak punya rasa takut, tapi rasa takut itu menjadikan dirimu mampu mengatasi ketakutan dan merubahnya jadi sebuah keberanian", lanjutnya.
Aku hanya memanggut, karena darah itu sudah mengalir dihatiku, bukan hal yang sulit utk dicerna, dan sepertinya ayah tahu, mungkin cuma sekedar mengingatkan prioritas karakter.

"yang terakhir, cukup." sayup terdengar suara ayah. Pelan, sepelan pemahamanku atas kata itu.
"maknanya luas nak, dan ayah tak memberikan arti untukmu" potong ayah saat dia tahu ku akan melontarkan pertanyaan tentang itu.
Diperbaiki posisi duduk ayah, disandarkan punggungnya ditiang kayu.
"ayah memaknainya dengan perbuatan."
"ayah selalu berusaha mencukupi orang orang yang butuh terhadap ayah."
"berusaha keras untuk itu, dan alam langsung menjawab perbuatan itu"
Rentetan kalimat ayah, langsung diiringi jawaban atas kejadian kejadian sehari hari kami, rutinitas keseharian kami yang selalu cukup.

Dan waktu itu, telah berlalu. Ayah masih ada dengan kemampuan yang sudah kupahami, sedangkan aku masih berkutat dibiduk kecil ini, dengan sedikit pemahaman kata cukup.

Sepanjang perjalanan waktu, aku banyak mendapatkan pengetahuan baru dari teman teman nelayanku, mereka asik bercerita tentang samudera. Tentang luas tanpa batas pandangan horison biru, tentang ombaknya yang lebih tinggi, tentang anginnya yang lebih menderu dan tentang kerlip bintangnya yang lebih benderang.

Uh, ada apa disini, ada apa didalam hati, ada seribu tanya, ada seribu mimpi, ada tantangan yang kucari menanti. Semuanya berlalu dalam hari hariku, dalam kayuhan dayungku dibiduk kecil ini. Tapi tak memadamkan bara didalam hati.

Terus, dan terus terjadi. Aku terdesak, tersudutkan, dan menjadi menerima tantangannya. Itu semua menjadi berarti setelah aku menemukan pemahaman baru dari nasehat terakhir ayah "cukup".

"cukup, cukup sampai disini biduk kecilku, samudera menantiku."

Semua tentang air mata


Desah udara malam mendesis. Berat tubuh ini melangkah, tertatih dalam dekapan rasa malas karena udara yang begitu dingin. Takbir kualunkan pelan, Allahu akbar !!! Menetes air dipelupuk mata, rasa aneh ini menyusup. Sejuk mengalir melalui pembuluh nadi. Kuungkap semuanya pada Robb semesta alam. Nafasku sesak dalam kesejukan, aliran darahku hangat dalam kerinduan. Kupegang air ini, dingin. Kata ibuku, jika ada air keluar dari mata itu berarti aku sedang menangis. Aku menangis dalam kenikmatan, untuk apa ? sungguh aku juga tidak tau. Lirih kulantunkan doa,
"Robbi ighfirlii dzunuubii waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiro"

Aku menangis, deras, air mata ini sulit kubendung, kata-kata ini begitu menyentuh, aku hanya sekedar tahu apa artinya namun tak berfikir olehku untuk menyertainya dengan tangis seperti ini. Bukankah anak-anak kecil diluar sana menangis karena jatuh dari sepeda, menangis saat tidak dibelikan es tulilut, lalu air mataku ? dzunuubi, terbayang gambar diriku yang dengan tanpa alasan menyakiti Allah dengan melanggar perintahnya. Saat aku lalai dengan kewjibanku sebagai seorang hamba.

Selesai tangisku tadi malam, sibuk aku mengungkap kenapa orang-orang menangis. Kuabaikan pesan singkat pikiranku ini yang tak begitu penting. Kuambil tas putih diujung kamar tidurku, tepat jam 6.30 kutahu inilah jam macet kota Bekasi. Puskesmas tempatku bekerja berjarak sekitar 4 km dari rumah sederhanaku. Kucium dengan khidmat tangan ibu yang renta. Arggh aku merasakan air lagi dikedua pelupuk mataku, lagi-lagi aku menangis.

“Kenapa Ima?” tanya mamaku

“ndak apa-apa ma, kelilipan mungkin ma, Ima berangkat dulu ya ma, Assalamu’alaykum” segera kuberlari kecil, pagi ini aku kehilangan keisenganku. Eitss, nggak jadi, aku ingin mengamati semua tangis yang kutemui dijalan, semua tangis yang tercecer dengan percuma, dan semua tangis yang terangkum dalam wadah yang indah. Hihihi ini mungkin isengku yang bermakna.

Angkot lemot yang kunaiki merayap menyusuri jalan besar di bekasi, entah apalah ini namanya, kusaksikan pengemis kecil nan dekil yang kini sedang memelas. Kutahu tatapan itu, mata yang pernah aku lihat tatkala aku masih kecil meminta untuk dibelikan makan karena lapar. Pengemis kecil ini lapar, tangisannya benar, dia hanya berusaha berjuang menegakkan tulang punggungnya. Aku tau matanya menangis, kuselipkan selembar 5 ribuan ketangannya, matanya menatapku seolah tak percaya, bahagia jelas terpancar dimatanya yang mungil, dia loncat dari angkot yang lemot karena macet ini, dari jauh kulihat dia sudah mengenggam bungkusan berwarna cokelat muda itu. Aku tak tau apa yang kini dimakannya, yang jelas aku menemukan satu air mata pagi ini.

Mataku beredar ke penumpang sekitarku, didekat kaca tampak seorang ibu-ibu kaya yang mungkin sudah kehabisan taksi atau tidak sabar menunggu taksi akhirnya memilih angkot. Kipasnya dikibas-kibaskan mengusir hawa sengap didalam angkot, anaknya merengek karena jajannya tidak enak, kulihat jajan yang ia buang, sebungkus Roti Mari, huffft kalau saja roti itu diberikan kepada pengemis kecil tadi, betapa bahagia wajahnya mendapat anugerah yang belum tentu pernah ia makan selama hidupnya. Kali ini, air matakulah yang mengalir. Dulu akupun mungkin begitu, melawan orang tua karena hanya lauk tempe dan sayur asem, aku masih jauh lebih beruntung, pengemis kecil itu mungkin hanya berlauk sepotong tempe dan nasi keras.

Air mataku ketiga ternyata untuk sang sopir yang kusebut lemot angkotnya, peluhnya membanjiri muka dan bajunya. Ditengah macet yang panjang ini, dia mencari sesuap nasi untuk anaknya yang mungkin antri meminta uang SPP yang telah menunggak selama satu semester, atau istrinya yang hamil dan bingung dengan biaya persalinan, atau anaknya yang menangis-nangis karena lauknya hanya garam. 

Aiiiiih, maafkan Ima pak sopir karena terlampau jauh memikirkan pak sopir dengan bayangan Ima, terima kasih sudah menyumbangkan arti sebuah air mata. Aku bangga padamu pak sopir kau banjiri tubuh dengan keringat hasil kerja kerasmu bukan keringat letih karena merampas duit rakyat. Untuk mereka kusumbangkan sebuah air mata miris.

Sepuluh meter lagi sampai dijalanan kecil menuju puskesmas, kuhentikan angkot disini. Langkah kakiku mantap, berharap mendapat hikmah dari setetes air mata. Sesampai di puskesmas, lorong khas berwarna putih ini selalu menyisakanku sebuah kenangan akan masa kecilku yang begitu ngotot menjadi perawat. Aku tersenyum di awal pagi di puskesmas  ini. Tak berlangsung lama, dokter Aisyah memanggilku melalui intercome puskesmas untuk segera ke kamar 13 mawar. 

Pasien bernama bu Yati, di dampingi satu orang keluarganya, anak wanita beliau tampak deras mengucurkan airmata. Kulihat bu Yati mulutnya berkomat-kamit, kudengar lirih ayat alqur’an. Tugasku sebagai seorang perawat adalah melancarkan jalannya perawatan, kubisikkan kata nasehat keanak bu Yati agar bersabar dan berserah diri kepada Allah. Kulihat dokter Aisyah mulai melakukan penanganan, dengan cekatan kubantu sebisa mungkin. Allah menaqdirkan lain, kulihat kardioskop mulai melemah, garisnya semakin lurus, kusaksikan wajah bu Yati membiru, menyebut Allah berulang kali, peranku hilang, aku tenggelam dalam bayangan yang paling aku takutkan, kematian. 

Dan bayangan itu kini menjelma menjadi sebuah kenyataan, bu Yati menghembuskan nafasnya yang terakhir, wajah pucatnya memunculkan sebuah senyum di bibir yang begitu sejuk ketika orang memandang. Anak perempuannya, menatap kosong dengan derasnya airmata, suaranya tertelan kesedihannya. Dihari raya nanti, anak itu tak lagi menikmati lontong buatan ibunya, lontong yang dibuat dengan senyum bunda yang begitu hangat. 

Pikiranku melayang, ke ibuku dirumah, jika sekarang aku berada diposisi yang sama, tentu remuklah hatiku. Kini deras airmata juga melanda diriku, aku telah banyak membantah perintah ibuku dan ayahku, dan saat ini aku pulang lalu orang-orang berkumpul dirumahku. Airmata keberapa pagi ini, mungkin ke-empat.
Kupulang dengan tergesa, kuluapkan rasa rindu kepada ibuku yang mungkin dengan banyak sengaja. Hanya ibu yang kupunya, ayahku yang telah lama meninggalkan kami dalam rumah sederhana penuh kehangatan kasih sayang bunda. Ibuku hanya bisa menitikkan airmata, menyaksikan putrinya sesenggukan dipelukannya, terlihat wajah tuanya yang bingung. Seandainya boleh, tentu aku akan sujud dihadapan ibuku yang aku cintai. Aku tak ingin melihat airmata keluar dari matamu.

Kulangkahkan kaki menuju kamar tempat laptopku bersemayam. Kucari sebuah folder berjudul “Video”, tertampil disana beberapa video masyayikh. Kupilih salah satu untuk malam ini, setidaknya aku menginginkan air mataku tumpah untuk yang ke-enam kalinya dihari ini. Lantunan merdu Syaikh Misyari Rashid ketika mengimami di masjidil haram membuat tubuhku bergetar, aku mendengar isak tangis beliau

Pada hari itu, kamu semua dihadapkan untuk hitungan amal; tidak ada sesuatupun yang tersembunyi kepada Allah dari perkara-perkara kamu yang tersembunyi.

Kuluapkan segala isak tangisku, berharap Allah mencabut nyawaku saat itu, saat aku berhasil menuangkan air mata karena ketakutan yang sangat terhadapnya.

Oleh : Muhammad Nur Faqih

[31 Mei 2011]

Tikus Got [puisi]

Renyah sekali senyummu, dengan perut kenyang kamu berjalan melenggang

Kamu menerobos gang-gang kecil, menyelinap dibalik puing-puing reruntuhan

Untuk mencuri makanan yang dismpan untuk jualan oleh rumah makan disebelah kontrakan

Dengan santai kamu melahap dan menikmatinya tanpa takut dengan kucing-kucing liar


Tidak takut lagi dengan kucing-kucing pemalas yang cuma bisa mencuri ikan dan tidur pulas

Kucing-kucing yang bisanya mengeong disaat lapar dengan penuh rasa memelas

Namun ketika sang majikan lengah kucing-kucing pemalas menyergap ikan tak keruan

Maka jadilah tikus got dan kucing pemalas bagaikan sepasang sejoli yang beriringan mengahncurkan sang majikan

 

Kabar kabar itu membuat sakit kepalaku

Sudahlah tak usah kau kuatirkan aku

Akan kubawa keluargaku kepinggiran hutan

Berteman dengan burung-burung kecil dan hijau ilalang

Semoga dengan begini kamu dan keluargamu bisa makan dengan tenang

Wahai tikus got di depan kontrakan..



Amang ikak


[10 Oktober 2010]

Prajurit [puisi]

Lihat dirimu wahai prajurit...


Genderang perang sudah di tabuh, kamu justru bingung mencari pedang dan tameng, ketahuilah...
Senjata paling tajam dan tameng paling kokoh sudah ada dalam tubuhmu...!!!

Lihat dirimu wahai prajurit...

Kekokohan iman dan taqwamu...

Kejernihan aqal dan bersihnya hatimu...
...
Kepasrahan dirimu akan ajal yang pasti akan menjemputmu...

Maka ingatlah bahwa Rabbmu akan menurunkan pasukanya...

Pasukan berkuda putih dari atas langit...

Yang menjadikan pedangnya sebagi pedangmu...

Tamengnya adalah tamengmu...

Maka patuhilah perintah-Nya dan perintah Rosul-Nya....

Apakah kamu tau itu wahai prajurit...

[Teruntuk jundi kecilku]

Amang ikak
[2 Oktober 2010]

Pilihlah Anak Kita


[ Sebuah fiksi, sebagai cerminan hati]

Di ruangan yang hanya terdapat kursi dan poster-poster kesehatan itu, Hasan hanya bisa duduk menanti , kegelisahan hatinya tidak membuat dirinya bimbang, kekhawatiranya akan keadaan seseorang yang sangat dicintainya tidak membuatnya cemas, dengan kematangan jiwanya terpancar ketabahan yang mendalam dalam sorot mata dan raut mukanya. 

Sudah hampir sepuluh menit waktu berlalu, belum ada seorangpun yang keluar dari ruangan itu, akan tetapi, meski jiwanya tampak tabah akan cobaan itu, tetap saja dia tidak bisa menahan menetesnya buliran air bening itu dari matanya, mengalir di pipi dan membasahi jenggotnya. 

Terbukalah pintu dan keluarlah seorang wanita paruh baya, dengan setelan warna putih dan stetoskop yang terkalung di lehernya. Hasan berdiri dan menyapa orang tersebut “ Bagaimana keadaan istri saya dok..??” Dokter itu diam sejenak, “ Mari keruangan saya, biarkan istrimu istirahat dulu” . Sebuah jawaban yang  tidak seperti Hasan harapkan, dan diapun berjalan di samping dokter menuju ruangan yang dimaksud.
***
Kabar itu sangat tak diduga, sudah beberapa kali hasan gagal dalam prosesnya, dan yang terkahir ini dia sudah pasrah, jika memang belum jodoh dia akan konsentrasi lagi dalam belajarnya, karena dia merasa mungkin belum waktunya untuk berumah tangga, mengingat usianya yang masih cukup muda. Namun dengan datangnya kabar bahagia itu, maka keinginanaya untuk menyempurnakan separuh agamanya akan segera terwujud, sebagaimana sabda Rosululloh –Sollollohu ‘alaihi wa sallam-

“Barangsiapa yang Allah memberikan rizki kepadanya berupa istri yang shalihah berarti Allah telah menolongnya melaksanakan setengah agamanya, maka hendaknya ia beratkwa kepada Allah untuk (menyempurnakan) setengah agamanya yang tersisa”.

 Acara walimah telah usai, meski dengan sangat sederhana namun sudah cukup mewakili dari apa yang di contohkan Rosululloh –Sollollohu ‘alaihi wa sallam-, “ Walimahlah meski hanya dengan seekor kambing”  dengan begitu terikatlah sebuah ikatan yang suci, dibawah naungan manhaj nubuwah, Layar biduk sudah mengembang, tali jangkar sudah dilepas, perbekalan sudah dipersiapkan dan waktunya berlayar telah tiba. Hasan pun sadar, ombak disamudra sangatlah besar, belum lagi jika badai menghadang bisa jadi akan membuat biduknya karam dan tenggelam, namun hasan yakin, kerjasama yang baik antara nahkoda dan anak buah kapal akan bisa menaklukan tantangan, bahkan hujan badai yang ganas sekalipun.
                                                                        ***
Dipegangnya erat tangan kanan istrinya yang terbaring lemah, di kecupnya kening putihnya diantara selang-selang infus dan jilbab yang senganja tidak mau dilepas. Senyum tipis dari bibir istrinya yang wajahnya mulai memucat, menandakan betapa tabah jiwanya dalam menerima cobaan ini, dengan suara berat istrinya berkata “ Ma’afkan saya ya mas…saya belum bisa menjadi istri yang baik bagimu” belum selesai ucapan istrinya itu, jari telunjuk hasan sudah menempel di bibir pucat istrinya “ Jangan ucapkan itu syifa’ , kamu adalah belahan jiwaku dan pasti yang terbaik bagiku, yakinlah ini adalah takdir dari Alloh dan pasti ada hikmahnya, tidaklah hal ini akan menambah keimanan kita jika kita mau bersabar karenanya, apakah syifa’ sudah lupa  

“ Perkara orang mu’min sungguh menkjubkan, apabila dia diberi nikmat maka dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia ditimpa musibah maka dia bersabar dan itupun baik baginya”. 

Sebuah perkataan yang sangat indah, bagaikan suntikan insulin yang memberikan kekuatan tersendiri pada jiwa syifa, sebuah perkataan dari seorang suami yang sangat di cintainya. Dengan senyum khas dari bibirnya yang masih pucat syifa’ kembali berkata “ Mas…Aku sudah tau apa yang terjadi, mas ga usah khawatir…ga apa-apa kok mas” 

Hasan tak kuasa lagi menahan jiwanya, di peluknya erat tubuh istri tercintanya, dan buliran air itu kembali membasahi pipi dan jenggotnya. Nampak ingin sekali syifa’ mengusap air mata suaminya, namun lenganya terasa begitu berat untuk digerakkan, kembali syifa’ berkata “ Mas…selamatkan anak kita, pilihlah anak kita mas…!!!” 

Hasan bangun dari memeluk istrinya, ditatapnya  nanar mata istrinya yang juga mulai meneteskan air mata, diusapnya dengan lembut pipi istrinya, jiwanya bergejolak, dia dihadapkan dengan dua pilihan yang sangat sulit buat dirinya saat ini, yang kedua pilihan tersebut resikonya adalah sebuah kematian, sebuah pilihan yang mengorbankan salah satu dari dua orang yang sangat dicintainya, syifa’ istrinya atau buah hatinya, bayi yang masih dikandungan istrinya, yang sudah lama di idam idamkanya, sudah lama diharapkan kehadiranya, namun inilah takdir dan dia harus tabah dan bersabar menerimanya.

Syifa’ kembali tersenyum tipis dan berkata “ Mas…bukankah seorang wanita yang meninggal karena anaknya yang dilahirkan dijanjikan Alloh syahid..?” , Hasan kembali tergoncang, buliran bening itu kini lebih deras mengalir, bahkan sekarang sampai menetes melalui sela-sela jenggotnya. Ia pun berkata “ Engkau benar wahai istriku….” Ucapanya terhenti, isak tangisnya mulai terdengar memecah kensunyian ruangan putih yang hanya disekat selembar kain sebagai pemisahnya antara tempat tidur sebelah, tak pernah sebelumnya seorang hasan ibnu yasir, seorang pemuda pantang mengeluarkan air mata, menangis, kecuali dihadapan Rabbnya. 

Perlahan hasan mengusap air matanya, di tengadahkan kepalanya keatas dan berkata “ Biarkan Dzat yang Maha Adil yang memutuskanya wahai istriku…” mendengarnya Syifa’ tersenyum, di pejamkan kedua matanya, seakan-akan memohon kepada Alloh yang terbaik untuk mereka berdua.

Abu hatim.

[29 September 2010]

Pelarian [puisi]

Berlarilah telanjang kaki
Dipesisir pantai berpasir putih
Tapaki langkah kakimu dengan
Senyuman kebebasan yang kau rindu

Jangan pernah melihat kebelakang
Meski anganmu terus melayang
Usah kau hirau bisikan nurani
 Mengurai semu  arti tanggung jawab

Dia sudah mati, cacing belatung sudah memakanya
Hidupmu jauh lebih berarti
Mewarnai dunia dan isinya
Lebih dari sekedar dibalik jeruji besi











Amang ikak 

[12 juni 2011]

Skeptis [puisi]

Melintasi catatan waktu, menepis
Galau jiwa yang terkikis
Kemandirian semu, semakin anarkis
Langkah kaki penuh sinis

Hati dan jiwa menunggu, berbaris
Mempertahankan idealis
Tersenyum lirih, mengais
Semu cumbuan masa lalu penuh teoritis

Menyibak kelam jiwa, menangis
Merobek, beteriak histeris
Palingkan mata, bibir meringis
Menghalau kepongahan bengis

Amang ikak 

[28 Mei 2011]

Dokter Yang Cerdas


Dikisahkan ada seorang dokter yang terkenal cerdas, pasenya selalu banyak di jam prakteknya dan hampir semua penyakit bisa disembuhkanya. Kemudian ada seorang yang ingin menguji kepandaian dan kecerdasan si dokter ini, dengan cara berpura pura sakit supaya disembuhkan olehnya.
Singkat cerita, seseorang tersebut datang dan berpura pura sakit kepada dokter cerdas itu.

“ Dok, tolong saya dok…”

“ Kenapa, anda sakit apa..?”

“ Tidak tau dok, semenjak bangun tidur tadi lidah saya tidak bisa merasakan apa apa..”

Dokter ini heran, baru kali ini menemui sakit seperti ini. Lalu dokter itu melakukan pengetasan pada lidah orang tersebut.

“ Ini gula, coba manis ga…?”

“ Ga terasa dokter…!!

“ Coba garam ini…!!

“ Ga asin dokter, ga terasa apapun…!!

Dokter tersebut berfikir sejenak, lalu berkata pada suster pendampingnya..” Suster, tolong bawakan obat no 20”, lalu suster itu datang dengan membawa obat yang diminta dokter. Kemudian  di teteskan sedikit pada lidah orang tersebut…

Orang tersebut menyeringai sambil menahan rasa yang aneh pada lidahnya “ Pahit sekali dok obatnya…??”

“ Alhamdulillah…lidah anda sudah sembuh…”

Orang tersebut kaget, tidak disangka dokter ini bisa mengetahui keberpura-puraanya. Tapi dia tidak mau menyerah, dia datang lagi keesokan harinya.

“ Dok tolong saya dok…”

“ Eh …kamu lagi, kenapa lidahmu kambuh lagi …?

“ Tidak dok, Alhamdulillah lidahku sudah sembuh, tapi kenapa sejak aku bangun tidur tadi ingatanku hilang, aku tidak ingat siapa-siapa dok…”

“ Masa sih…coba siapa namau…?

“ saya tidak ingat dok…!!

“ Istrimu…?

“ saya tidak ingat dok…!!

“Alamat rumahmu..?

“ Aku tidak ingat dok…”

Dokter tersebut berfikir sejenak, lalu memanggil suster asistenya..” Suster…tolong ambilkan obat no 20 ya…!!

“ Obat itu lagi dok…tidak dok, pahit sekali rasanya…”

“ Alhamdulillah…anda sudah sembuh…”

 Amang ikak

[ Diceritakan oleh Ustadz Abu Fairus, dalam perjalanan ke lingkun, Ramadhan 1432 H. 17 Agustus 2011]

Menundukan Suami


Dikisahkan ada seorang istri yang ingin sekali suaminya tunduk kepadanya, tidak akan menikah lagi atau selainya. Berbagai cara dilakukanya namun masih belum bisa menenangkan hatinya, dia masih saja kuatir jika suaminya tidak mau tunduk kepadanya.

Dan akhirnya dia pergi keorang "pintar", yang disangkanya adalah seorang dukun yang diharapkan bisa membantunya untuk menundukan suaminya, akan tetapi orang pintar ini adalah seorang yang alim lagi cerdik, maka datanglah si istri pada orang pintar tersebut.

" Wahai syaikh, saya ingin minta tolong kepadamu..?"
" Apa yang kamu inginkan..?"
" Bantu saya untuk menundukan suami saya, agar suami saya tidak menikah lagi dan yang semisalnya"
Sejurus orang pintar tersebut berfikir..." Bisa...., tapi ada syaratnya dan syarat ini sangat berat saya tidak yakin kamu bisa memenuhinya"
" Apa syarat itu, aku akan memenuhinya"
" Benar kamu mau...?"
" iya, saya mau"
" Syaratnya sebelum kamu saya bantu, bawakan saya sehelai bulu singa"
Sejenak wanita itu berfikir....
" Kenapa kamu tidak bisa memenuhi syarat ini..?
" Saya akan mengusahakanya..."

Kemudian si sitri itu pergi dan berfikir kemana dia akan mendapatkan rambut singa tersebut, dihutan mustahil, dan akhirnya dia menuju kebun binatang. Namun tak semudah dugaanya, biarpun singa di kebun binatang tetap saja garang, dan buas sehingga dia harus memutar otang bagaimana supaya bisa mencabut bulu singa tersebut.

Setiap hari dia kekebun binatang tersebut sambil membawa daging, diberinya makan singa tersebut, terus setiap hari. Ketika ada kesempatan dia mencoba mencabut bulunya, namun singa tersebut masih garang. Dia tidak putus asa, dia datang terus kekebun binatang tersebut, dan diberinya makan daging singa itu sampai kenyang setiap hari, berpuluh hari lamanya hingga akhirnya singa itu jinak padanya, tidak lagi garang sehingga dengan mudahnya si istri tersebut mencabut sehelai bulu singa.

Bukan main girangnya si istri tersebut, dia kemudian datang kepada orang pintar tersebut...
" Wahai Syaikh...ini aku telah mendapatkan sehelai bulu singa"
Orang pintar tersebut terheran heran, bisa juga si istri ini mendapatkan bulu singa, maka ditanyanya si istri tersebut
" Hebat kamu, bagaimana ceritanya kok kamu bisa mendapatkan bulu singa itu..?"
Dengan bangga wanita itu bercerita " Tiap hari aku beri makan daging singa tersebut sampai kenyang, lalu singa itu pun jinak dan patuh padaku"

lalu orang pintar ini pun berkata " Demikian juga caranya kamu menundukan suamimu, beri dia makan kenyang setiap hari, servis dia baik setiap hari , jika singa saja bisa kamu tundukan kenapa suamimu tidak.."

Amang ikak

[Di ceritakan oleh Ustadz Abu Fairus, dalam perjalanan menuju lingkun, Ramadhan 1432 H. 15 Agustus 2011]

Ngelimbang [puisi]


Separuh tubuh terendam peluh
Mata memerah menahan desah
Panas mentari bukan sebab gelisah
Akal tertutup lembaran kertas merah

Deru mesin pengisap  tidak lagi bising
Seharian berendam tidak jadikan kepala pusing
Mendekam, mengasa sisa tailing
Memisah biji hitam dari benda asing

Bermodal sebuah piring
Tangan bergoyang tiada lelah
Mata tersenyum biji hitam tertampung
Menyambut renyah senyum pengumpul timah

Amang ikak

[27 Mei 2011]

Menikmati Seadanya

Tak terasa waktu telah sekian jauh, menaburi peristiwa dengan kisah rutinitas yang biasa saja. Mail temen ku masih asik bermain dengan pekerjaannya, pekerjaan yang sederhana, sebagai penjaga kebun, kalo boleh dibilang itu kebun, karena aku melihatnya hampir mirip hutan, tanaman yang tumbuh sangat tidak beraturan, hanya saja kebun itu tak di rimbuni oleh semak belukar.

Di kebun yang luas itu, milik seorang kaya di kota, Mail asik meniti hari harinya dengan keriangan, tanpa kesusahan, selalu ada senyum menghiasi bibirnya. Saat ku melintasi tepi pondoknya selalu ada salam yang keluar dari senyumnya yang manis.
"Singgah dulu lah bang, ada sepiring hangat keladi hutan yang ku rebus pakai api kayu pelawan," tawaran yang menggoda di awal pagi, membuat ku menghentikan deru motor dan menaiki tangga pondoknya.

Dua orang anaknya tanpa asik dgn piring di hadapannya, mencoletkan hangatnya keladi rebus ke piring kecil yang ku tahu pasti berisi madu.
"Pohon ara ditengah kebun itu bang tak henti hentinya di singahi lebah." Mail langsung tahu maksud arah lirikan mata ku.
Dia memang di bebaskan oleh pemilik kebun untuk melakukan apa saja diatas kebun itu, tugasnya lebih kearah menjaga deretan pohon durian yang berumur puluhan tahun, yang buahnya selalu menjadi primadona maniak durian dikota, dan sang tuan hanya datang di kala musim durian tiba.

"Kau tak bosan tinggal disini saja mail?" tanya ku. Aku tahu dia pernah mengecap bangku kuliah dulu, maka dari itu kesabarannya menjalani rutinitas di kebun sedikit membingungkan ku.
"Aku sudah bosan menghirup udara kota bang."
"Kasihan anak2 mu, mereka tak sempat mengenyam bangku sekolah." ujar ku lagi.
"Mereka tak bodoh bang, hutan ini memberikan pelajaran yang lebih berarti."
"Mereka masih bisa membaca dan menulis, aku mengajari mereka setiap hari."
Ku lihat memang tumpukan buku dan majalah tersusun rapi di sudut pondok sebelah kanan depan, bersih tanpa debu, yang berarti buku2 itu selalu dijamah, dibaca dan disusun kembali.
"Si bos selalu berbaik hati bang, semenjak ku minta pertama kali, tiap kali datang selalu membawa buku buku dan majalah bekas."
"Pendidikan disekolah hanya memberikan dua pelajaran berharga bang, bahasa dan ilmu berhitung, dan aku telah menyingkatkan pelajaran untuk mereka di sini."
"Selebihnya kebun dan hutan ini yang mengajari mereka tentang makna hidup dan kehidupan."
"Memberi tahukan kepada mereka tentang arti yang lebih berarti dari setiap dengus nafas mereka, bahwa itu semua bukan cuma sekedar proses pernafasan."
"Bahwa itu semua adalah bagian dari sistem yang luar biasa teraturnya."
"Dan aku tak melihat keteraturan itu dikota, ditempat yang dihuni oleh banyak manusia-manusia berilmu."

Aku masih belum bisa memahami jalan pikirannya, seberapa teraturnya jagad mini si mail, dia masih menemukan cuaca yang berubah, masih merasakan patukan ular di kaki, seperti yang dia ceritakan dulu.
"Alam tidak membunuh bang," pikiran ku kembali dibaca mail.
"Manusia yang entah sengaja atau tidak melintasi keteraturan proses alam, dan waktu bagi manusia itu telah tiba, yang membuat kita melihat matinya manusia sebagai momen ketidak beraturan. Semuanya masih dalam skema yang teratur bang."

Aku masih belum memahami makna pembicaraannya. Bagi ku, jika tambang timah inkonvensional ku setiap hari menghasilkan pasir timah dalam jumlah puluhan kilo, maka hidup ku akan teratur, dengan uang yang ku dapat aku bisa mengatur setiap langkah keseharian ku.
Dari situ aku memahami, bahwa dunia bukan dalam sebuah keteraturan, karena tidak setiap harinya aku membawa hasil timah yang memuaskan.

"abang masih menempatkan parameter nilai untuk menghitung kejadian, karena tidak setiap kali hasil yang kita peroleh sesuai dengan harapan kita, oleh sebab itu abang mengambil kesimpulan bahwa hidup dalam ketidak beraturan."

"ayo bang, jangan lupa dimakan lagi keladinya."
"enak juga keladi dicocol madu ya mail."
"kan tadi waktu aku menyuruh abang singgah sudah bilang, ku merebusnya pakai kayu pelawan, kayu hutan ini, kayu terbaik dengan kalori pembakaran yang tinggi, makanya citra rasanya menjadi berbeda."

"Menikmati seadanya, itu yang benar bang, alasan yang kusampaikan tadi masih dalam parameter nilai, dipondok kami, sepagi ini cuma ada rebusan keladi, suasana hati yang menterjemahkan ketenangan hutan, membuat kita lupa akan hasrat dan keinginan atas rasa nikmat dari makanan yang ada dikota, dari situ kita memunculkan rasa nikmat makanan ini dialam pikiran kita bang."

"Menikmati seadanya, akan membuat kita paham, kala hasrat dan nafsu menjadi tiada, jagad raya ini berjalan dengan begitu teratur dan rapinya."

Oleh: Ahmad Hendra Sutiawan

Dia

 BismillAh...


Assalamu'alaikum

dia...


di sudut itu, membuka mata ketika mentari mulai menyinari Bumi


menyibak kabut merekah membelai tabir


dalam angan jiwa, yg mengajakku menyambut indah nya dunia


pada seraut wajah yang jauh di sana ,seperti hamparan indah


adalah perwujudan rindu yang tidak pernah pupus


dia


di sudut itu mengajakku bermain di kala Tetes demi tetes Embun pagi mulai mengering ,bersama kicau burung, wangi bunga-bunga, di bawah tumbuh rimbum pohon yg tak prnah layu untuk menghitung hitung waktu yang terus melaju


lewat suaranya bersama hambusan angin yg memberiku kesegaran pada jiwa yang menyimpan seribu sepi daalam hati.


seperti mimpi semalam atau hujan kemarin yg terus memberikan kenangan dalam sebuah senyuman

hingga rembulan dan bintang lenyap di ujung fajar.

Kuhirup segarnya udara udara ,melambaikan tanganku bersama tarian ilalang yg lembut menghaturkan Salam sapaan yang ingin selalu ku ucapkan


dia


di sudut itu bercerita tentang sebuah keindahan dan keabadian


gemetar angin melewati kelembutan doa doa di ujung desa


memikul derita ,menjadikan nya menjadi sebuah cahaya secerah mentari di kala pagi ,yang membuka kehidupan.


tenang seperti suasana keindahan ,sejuk seperi hijau rerumputan ,

mengajakku bercerita tentang hujan dan senja yang hilang

tentang sungai sungai dan lumut pagi yang kekal


semua tentang keindahan.................
..

~ Aish ~


[Ditulis oleh Meisyah Hanan] 

Mengurai Mimpi

Kupeluk, kuciumi pipi anaku, sambil terus mengompres dahinya. Pagi ini sudah mulai reda panasnya, namun belum bisa aktif seperti hari hari biasanya. Sejak kemaren juga sudah tidak masuk paud, tapi mudah mudahan besok sudah sembuh dan bisa beraktifitas seperti sedia kala. 

“Bu…ayah berangkat kerja dulu…” sambil mendorong sepeda motor keluar rumah.

“ Hati hati yah…” suara istriku sambil terisak, matanya masih kelihatan lebam karena menangis semalaman. Jiwanya tertekan, ais adalah anak pertama dan terkahir kami, sungguh sangat berat jika harus kehilanganya di usianya yang baru masuk tahun keempat.

“ Sudah bu…ais insyaAlloh lebih baik kok…” . Kuparkir motor ini dihalaman. Sejenak kupandangi wajah istriku yang sedikit pucat karena kelelahan dan kurang tidur. Ais pun masih Nampak lemas, hanya bola matanya yang berkedip seolah memintaku untuk menciumnya. Kupeluk dan kecup dahi istriku dan pipi ais bergantian . lalu ku bisikan pada istriku.

“ Berdo’alah kepada Alloh, mintalah yang terbaik untuk anak kita,  ingat do’a seorang ibu pada anaknya itu mustajab..” , sejenak kuperhatikan istriku menangguk sambil menyeka airmata dipipinya dengan telapak kananya.

“ Iya yah…ayah pergi saja, nanti telat buka toko malah lari pelangganya” istriku sedikit lebih tegar jiwanya. Sekali lagi ku kecup pipi ais, lalu pergi meninggalkan rumah. 

“ Ayah pergi ya bu…Assalamualaikum…” . Aku pun pergi dengan sepeda motorku, menuju sebuah toko kecil  di pinggiran kota tempat ku menggelar lapak daganganku.

                                                                                 ***

Sebelum  jam lima sore biasanya aku sudah berkemas untuk pulang, namun hari ini aku harus lembur sampe jam sepuluh malam. Ini karena satu-satunya karyawanku siang tadi ijin untuk menghadiri acara pernikahan saudaranya di kampung. Apa boleh buat, meski sangat berat karena ais yang masih belum sehat dirumah.

Kuambil hape disaku, ku pencet nomor istriku untu member tahu kalau aku pulang malam.
Lama ga diangkat, sudah dua kali aku mencoba menghubunginya…hatiku pun mulai ga enak…tuut..tuut…klek…!!!

“Assalamualaikum ..yah..” akhirnya istriku mengangkat teleponku. Sayup sayup terdengar suaranya rendah, lemah menggambarkan betapa badanya sangat lelah.

“ Wa alaikumusalam…ais gimana bu..?

“ Sedang tidur yah…siang tadi rewel lagi, panasnya cukup tinggi…alhamdulillah sudah ashar tadi panasnya berangsur turun dan bisa tidur…” 

“ Oh ya yah…ma’af telat angkatnya, ibu ketiduran…tadi nina bobo ais jadi ikut ketidur…” tambah istriku dengan nada rendah…!!

“ Oh ya Alhamdulillah, ga apa apa ko bu…oh ya bu, malam ini ayah  lembur, udin ijin pulang kampung karena adiknya menikah, jadi ayah pulang sekitar jam sepuluh malam.

“ Owh…udin ga masuk tadi yah ya..?? “ 

“ Masuk, cuman setengah hari, siang tadi ijin…besok juga sudah masuk lagi kok, ibu ga apa apa kan…??”

“ Ga apa-apa kok yah…isnyaAlloh masih bisa jaga ais…"

“ Ya sudah bu ya…kabari ayah kalau ada sesuatu …”

“ Iya yah…”

“ Assalamualaikaum…”

“Wa alaikumusalam….” Klek…telpon pun terputus, dan aku siap-siap menutup sementara toko untuk pergi kemasjid, adzan magrib sebentar lagi berkumandanng.   
                                                                               
                                                                                ***

Jam di hape menunjukan hampir pukul Sembilan, terasa capek juga jaga sendiri seharian. Jalanan masih rame, sesekali masih ada pembeli yang mampir, walau hanya melihat-lihat atau sekedar tanya harga lalu pergi, ga masalah namanya juga usaha, sapa tau sudah ada minat cuman belum cukup uang dan akan balik lagi di lain waktu. Tiba-tiba hape ku bordering, kulihat istriku memanggil…

Klek…” Assalamualaikum bu…” …!!

“ Ayah pulang…cepet yah…ayah pulang, ais yah…ais…!!!” terdengar jelas isak tangis istriku dengan suaranya yang serak serak tanpa lagi menjawab salamku.

“ Kenapa ais bu…? Ais panas lagi ya…” tanyaku cemas..

“ Ais yaah….ais…” Suara istriku semakin parau, dan isak tangisnya yang semakin menjadi…

“ Iya..iya..ayah pulang sekarang…” kututup hape, dan segera berkemas membereskan barang daganganku.
Kulaju motorku sekencang-kencangnya, jarak dua puluh menit perjalanan kerumahku terasa beitu lama, terasa begitu jauhnya,  tidak seperti hari hari biasa. Pikiranku kacau, yang ada di otaku hanya isak tangis istriku dan gambaran wajah ais. Tak lagi kuhiraukan ramainya kendaraan yang lalu lalang, hatiku berdebar, jantungku seakan berdetak begitu kencangnya, adrenalinku terasa mengalir sangat deras, beberapa mobil truck aku salip, bahkan lampu merah pun aku trobos…aku seakan tak peduli lagi dengan nyawa dan keselamatanku.

Sampai dirumah, kulihat wajah ais yang pucat, matanya melotot, badanya kejang-kejang.

“ Kenapa ais bu…?” sambil ku peluk dan pegangi erat erat tubuh ais yang kejang-kejang…!!, istriku hanya menagis, tak sanggup lagi bibirnya untuk berucap, wajahnya terlihat sangat pucat dan cemas. 

“ Ayah bawa ais kerumah sakit bu..” . ku lilitkan selimut ke badan ais, ku gendong dan kupegang degang tangan kiri…

“naik apa yah…” sergah istriku…??

“Ga sempet lagi cari angkot bu…”. Dan langsung ku geber motorku, hanya dengan tangan kanan memegang kemudi, sementara tangan kiriku memeluk dan memegangi tubuh ais yang masih mengejang. Lelah dan capek seakan tak terasa, yang ada diotakku saat ini adalah sampai dengan segera ke rumah sakit. Bayangan wajah mungil ais mulai tersirat di wajahku, lucu gelak tawa dan tingkahnya membayang di kedua mataku. Tidak…aku harus focus, keselamatan ais masih dipertaruhkan, aku harus segaera dan selamat sampai rumah sakit.
Ku pacu motor ini dengan pasti, sedikit tambah kecepatan di saat jalanan agak sepi. Tetap waspada karena kemudi dengan satu tangan dan beban ditangan kiri sangat besar resiko oleng dan jatuh atau menbrak orang lain karena kemudi yang kurang stabil. Sampai dirumah sakit, aku langsung menuju Unit Gawat Darurat, beberapa perawat menyambutkau dengan sigap, ais dibaringkan diatas dipan besi, sambil didorong menuju ruang perawatan.

“ ma’af pak…bapak tunggu disini saja..” sergah salah seorang perawat…, aku tidak bisa memaksa bahkan tak sepatah katapun sempat terucap. Penat tubuh ini sangat terasa, tangan kiriku seakan kaku tak bisa diluruskan dari posisi merangkul tubuh ais tadi. Kutatap wajah ais yang pucat masi, kuperhatikan sejenak para perawat itu beraksi. Tiba-tiba kepalaku terasa pusing, pandanganku mulai kabur, ada dua bayangan yang mirip dari wajah ais dan tubuh para perawat didalam sana, sejenak ruangan seperti mati lampu, gelap…lep…dan tidak ada lagi yang bisa kulihat.

                                                                             ***
Hening..... hanya gemericik air yang menyapaku, sejuk udara ini seakan menusuk, meenyelinap di setiap pori-pori tubuhku. Beberapa saat  terdengar sayup-sayup canda tawa ceria anak-anak yang sedang bermain, kulangkahkan kakiku untuk mencari  sumber canda tawa itu berasal. Ternyata dari sebuah taman yang indah, sekelompok anak-anak sedang bermain  dari sinilah suara itu berasal. Hatiku begitu damai, begitu jelas warna dan suara yang kurasakan, rangkaian warna yang sangat indah, sangat jelas di tengah namun agak memudar di pingggirnya. Kuperhatikan mereka bermain dengan rianganya, berlari berkejaran, bergandengan tangan memutar dan berputar-putar. 

Aneh,...tak disangka salah seorang dari mereka menoleh dan tersenyum manis kepadaku, wajahnya riang, senyumnya renyah, melepaskan pegangan tangan temanya dan berlari menuju kearahku. Hatiku tersentak, mataku seakan terbelalak melihat apa yang kusaksikan saat ini.

“ Ayaaaahhh….”. Teriak anak itu kepadaku…!!!

“Ais..?” . Nadaku tidak percaya….!!, anak itu berlari terus kearahku, ku jongkokkan tubuhku menyambut sergapannya yang langsung bersarang di pelukanku.

“ Ais..?” kamu ga apa apa nduk….?” tanyaku heran…!!

“Ah ayah…emang ais kenapa…”, sambil menciumi pipiku dan menarik-narik jenggotku.

“Ayah ayo main…ais kenalin sama temen-teman baru ais…ayooo”, anak itu melepaskan pelukanya dan manarik tanganku, namun terlepas…dan terus berlari sambil sesekali menoleh dan melambaikan tanganya kepadaku, seakan memintaku untu mengejarnya. 

“Ayo ayaaah…” , teriaknya lagi…, akupun tak kuasa menolak ajakanya, kucoba langkahkan kakiku namun tidak bisa, aku terhenyak…kutatap anak itu masih melambaikan tanganya kepadaku, namun kaki ini terasa berat, seperti di ikat pada sebatang tonggak kayu yang sangat kokoh. Aku mencoba meronta, namun tetap tidak bisa. Kukerahkan segenap tenaga namun tetap tak bisa. Kutatap lagi anak itu yang kembali bermain dengan teman-temanya, dia masih sesekali menoleh dan tersenyum kearahku. 

Hatiku trenyuh, kucoba sekali lagi untuk melepaskan kakiku dari jeratan ini, namun semakin kupaksa semakin lemah terasa tubuhku ini.

Aku hanya bisa menyaksikan anak itu bermain dari jauh, tidak lagi berharap bisa melepaskan diri dari jeratan ini, hanya ingin menyaksikan keriangan ini, hatiku damai, hatiku tentram belum pernah sedamai dan setentram ini hatiku kurasakan. Tiba-tiba muncul seberkas cahaya putih, kecil awalnya lalu membesar dan sangat menyilaukan, mataku tak sanggup menatapnya, ku halangi dengan telapak tanganku cahaya itu untuk bisa melihat anak-anak itu bermain, sekilas masih kulihat anak itu tersenyum manis kepadaku sebelum akhirnya mereka lenyap di telan cahaya yang menyilaukan itu. Akupun terhentak, seakan mataku terbangun dari sebuah mimpi yang indah.

“Sudah bangun pak..?” sayup terdengar seseorang menyapaku. Kubuka pelan telapak tanganku dari muka yang menutupi kedua mataku, seberkas cahaya kemilau mentari menerobos melalui jendela yang baru saja di buka oleh orang yang menyapaku. Aku terhenyak, otaku berputar dan berfikir antara sadar dan mimpi.

“Alhamdulillah bapak sudah siuman…” , ucapnya lagi. 

“Oh iya…”. Pikiranku masih terbayang apa yang kulihat tadi. Sebuah gambaran yang sangat indah, sangat jelas warna dan suaranya.

“Bapak semalam pingsan, sekitar jam sepuluh malam…setelah mengantarkan putri bapak di UGD”. Hatiku tersentak, aku baru sadar kalau aku ada di rumah sakit.

“ Bagaimana ais..? bagaimana anaku..?” sergahku kalut…!!

“ Tenag pak, semua akan baik-baik saja kok, putri bapak sedang dalam penanganan tenaga ahli kami di ruang ICU”. Hah..ICU…!!

“ Kenapa dengan ais, dia sakit apa…?” tanyaku semakin penasaran…

“ Bapak tenang dulu…ga usah panik..”. Tak sabar dengan jawaban perawat ini, ingin rasanya aku bangkit dan berlari ke ruang ICU…!!

“ Tenang pak…sabar, sabar pak…kondisi bapak belum memungkinkan untuk bergrak banyak, putri bapak mengalami sedikit gangguan syaraf otak, akibat panas badanya yang sangat tinggi, selain itu juga ada gejala malaria”. 

Deg…hatiku tersentak…namun tidak ada yang bisa aku lakukan, benar kata perawat ini, badanku sangat lemah, tidak mungkin untuk bergerak banyak untuk beberapa saat.

Kutatap langit langit ruangn ini, kucoba kembali mengingat apa yang kusaksikan tadi. Sebuah gambaran yang sangat indah, sangat nyata dengan warna dan suara yang sangat jelas terasa. Ais…, ya…aku melihatnya bermain dengan anak-anak lainya, bermain dengan begitu riangnya, di taman yang sangat indah yang belum pernah aku melihat sebelumnya. Hatiku tersungkur, bulir bulir hangat mulai mengalir di pipiku, aku hanya bisa pasrah, hanya bisa berharap jika benar anaku akan bermain di taman itu, ajaklah serta ayah dan ibumu.

Amang ikak

[10 Juni 2011]