Jam didinding hampir menunjukan jam Sembilan malam, Umar dan dua kakaknya sudah terlelap di buai mimpi, tinggal Mutia yang masih berkutat dengan buku pelajaran sekolahnya. Malam ini terasa panas, gerah , biasanya ini pertanda akan turun hujan. Kupastikan satu persatu jendela dan pintu terkuci rapat, sambil menutup lelbaran kelambu kelambunya.
“ Ayah belum pulang ya bu…?” ,tanya Muti sambil terus menuliskan angka angka di bukunya.
“ Malam ini ayahmu lembur di kantor, katanya mau ada tinjauan dari pusat”. Jawabku singkat.
“ Jam berapa pulang ..?” , tanya nya lagi.
“ Paling bentar lagi juga pulang….” jawabku,” kamu belum ngantuk ya nduk, apa ga capek apa dari tadi kok belajar terus”, tanya ku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ Kata pak agus buu…kalau mau pinter matematika minimal harus selesaikan sepuluh soal sekali duduk ”, jawab Muti sambil terus asyik dengan pena dan bukunya.
“ La ini sudah berapa soal yang kamu kerjakan” , sambil ku buka lembaran kertas yang penuh dengan kombinasi angka yang aku ga tau apa maknanya.
“ Eheheh….Matematika itu asyik lo bu, semakin dikerjakan semakin menantang” , seloroh Muti berapi-api.
Mutia memang menaruh perhatian dan ketertarikan lebih pada matematika, meski dia bukan yang terbaik di sekolahnya, namun semangatnya untuk mempelajarinya sangat gigih, sama sepertu ayahnya yang sangat gigih dalam menekuni pekerjaan yang di sukainya.
“ Sms ayah bu…minta belikan martabak telor ya..” , Pnta Muti sambil merapikan buku bukunya.
“ Muti temenin ibu deh sampai ayah pulang..” bujuknya, seakan menebak pikiran yang ada di otaku.
“ Bukanya ibu ga mau ditemenin atau ibu ga mau smsin, kayak ga tau di ayahmu saja, mana mau ayahmu beli makanan kayak gitu”, jelasku.
“ Bujuk dong bu…masak ayah ga sayang sama istri tercinta ..?”, canda Muti sambil berbaring manja di pangkuanku, diatas sofa diruang tamu.
“ Ayahmu itu ga mau beli yang begituan justru karena sayang sama ibumu, dan kamu serta adik adikmu itu, prinsip ayahmu itu uang harus disimpan, hemat dan jangan beli sesuatu yang tidak penting”.
Dan memang prinsip inilah yang di pegang suamiku, pantangan baginya untuk beli jajanan mahal, dan seporsi martabak telor sudah termasuk barang mahal baginya.
“ Sekaliii aja bu…”, bujuk Muti lagi seakan ga mau menyerah…!!
Tok…tok…tok…!!!,
“ Nah itu ayahmu pulang, bilang sendiri sana besok kalau pulang minta di beliin martabak telor” , sambilku beranjak untuk membuka pintu.
“ Yaaah…kaan, ayah keburu pulang deh….eheheh”, Muti terkekeh sambil berlari masuk kekamarnya.
***
“ Bu..ayah kerja dulu ya”, sambil mengecup keningku.
“ Malam ini lembur lagi yah…”, selidiku…!!
“ Masih banyak yang belum beres bu, nanti deh ayah bilang sama bos untuk hari ini ayah biar bisa pulang cepat”, jawab suamiku sambil mencubit hidungku dan tersenyum genit dan mengerlingkan matanya kearahku.
“ Bu Muti pergi ya…”, sambil berlari dan meraih tangan kananku dan menciumnya.
“ Eeeiit…bentar, bentar…”, Sambil ku rapikan rambut Muti yang terselip di antara jilbab dan dahinya, “ Hati hati disekolah ya nduk, belajar yang bener”.
“ Iya buu…”. Jawab Muti sambil berlari masuk kemobil. Tio dan dimas pun sudah ngantri untuk mencium tanganku dan langsung masuk kemobil, sedangkan umar...eheheh, umar masih terlelap dengan bantal guling dan pempes pesingnya.
Sejenak aku tertegun menantap mobil hitam itu, mobil yang baru sebulan lalu terbeli oleh uang yang di kumpulkan suamiku, dan tentunya adalah hasil kerjanya selama ini. Aku menerawang jauh dimasa lalu, ya..sekitar sepuluh tahun yang lalu, masa masa sulit di awal pernikahan kami, jangankan sebuah mobil, sepiring nasi berdua di pagi hari sangat jarang menyertai kami.
Kehidupan dikampung sangat sederhana, kalau tidak bisa dikatakan kekurangan. Hanya bekerja sebagai buruh bangunan, atau sesekali membantu tetangga memanen padi dimusim panen, atau mengambil pasir di sungai lalu dikumpulkan dan dijual dan bahkan terkadang tidak ada pekerjaan yang dikerjakan suamiku. Keadaan ini yang memicu suamiku uantuk mencoba mengadu nasib diibu kota.
Waktu itu dengan modal nekat, tanpa ketrampilan apalagi keahlian suamiku pergi kekota , kecuali sedikit ilmu akuntansi yang didapatnya ketika sekolah di SMEA, dan ternyata kejelian dan ketelitianya dalam menghitung membuahkan hasil, awalnya ketika seorang mandor bangunan meminta bantuan suamiku untuk membuatkan rekap pembelian material tempat suamiku buruh bangunan di kota. Lalu perkenalanya dengan seorang kontraktor yang menjadikan suamiku sebagai orang kepercayaanya untuk menjadi sekertaris pribadinya sehingga merubah nasib kami, setidaknya suamiku tidak lagi bermandi peluh dan beratap panasnya sinar matahari.
Hanya berselang enam bulan kemudian, aku dan muti yang waktu itu masih berusia enam bulan di boyong kekota, bersama mengarungi hidup serasa lebih bermakna, menikmati setiap deburan ombak dan tiupan anging samudra kehidupan, bersama mengarungi dan berlayar dengan biduk kecil ini.
“ Buu…ehek…eeeaaa”, panggil umar sambil merengek terbangun dari tidurnya. Rengekanya dari dalam kamar membuyarkan lamunaku, memaksakau menyeka sebutir air mata yang menggantung dipelupuk mataku.
“Mandi yuk nak,…sudah itu kita sarapan lalu main ya…” bujuk ku sambil menggendongnya kekamar mandi.
***
“ Apa mas….?”, lidah ku tercekat, nafasku tersengal seperti ada yang mecekik leherku dari belakang. Apa yang diucapkan suamiku bagaikan petir yang menyambar, suaranya memekakkan telingaku bagaikan halilintar yang mengelegar, seakan akan plafon dan atap rumah runtuh dan menimpaku karena guncangan gempa bumi.
“ Sabar asih, denger dulu penjelasan mas…”, suamiku memegang erat tangaku, dan menatap tajam mataku.
“ Apa salahku mas, apa kekurangaku…?? Empat anak sudah kuberikan untukmu, lalu apa lagi…?, Sedikit kutahan perkataanku yang mulai terlarut emosi, kuatir terdengar anak-anak yang beru tertidur. Pun suaraku mulai tersendat alur nafas yang tak teruatur, buliran hangat pun mulai membasahai kedua pipiku.
“ Bukan itu masalahnya…asih begitu berharga dimata mas, tidak ada salah yang asih lakukan, dan mas juga masih berharap asih akan melahirkan lagi anak buat mas, tapi mas juga bersimpati padanya, dan dia juga sangat mengharap cinta kasih dari mas..”. Aku hanya diam, sambil terus memenuhi tempat sampah dengan tisu yang menampung air mataku.
“ Percayalah asih…asihlah yang pertama di hati mas, dan cobalah berbagi dengan orang lain percayalah hidup ini akan semakin indah”, rayu suamiku mencoba meyakinkau .
“ Siapa wanita itu mas…”, kuberanikan diriku untuk bertanya..!!, mas yanto terdiam sesaat, sepertinya dia ragu untuk mengatakan siapa wanita yang hendak dinikahinya.
“ Dia wanita transgender…”…!!!
“ Apaaa….waria maksud mas ..??!!” , Mas yanto mengangguk, Aku kuasa lagi, aku berdiri dari kursi tempat duduku, mataku terbelalak menatap mas yanto yang tatapanya tertunduk kelantai, sambil kedua telapak tanganku merapat di mulutuku. Hampir –hampir jantung berhenti berdetak dan ini terlepas dari tempatnya.
Aku berlari keluar kamar, lalu masuk kekamar mandi dan kukunci dari dalam. Kubiarkan dingin air ini mengguyur seluruh tubuhku, kubiarkan tiap tetesnya merasuk kedalam pori-pori kulitku, dengan harapan melunturkan setiap titk gelap dosa dan kesalahanku, aku pasrah, aku lemah, aku tersedu.
***
Tidak ada pilihan lain yang bisa aku ambil, meski hal ini bisa jadi sebuah bom waktu yang akan meledak dan menghancurkan kehidupan keluargaku. Aku hanya memikirkan anak-anaku, aku tidak mau mereka jadi korban dari perceraianku, biarlah hati ini yang menahan sakit akibat luka dalam yang membiru.
Sebenarnya keadaan ini menjadikanku serba salah, aku tidak mau dibilang istri durhaka yang menolak suami untuk menikah lagi, karena jelas sekali ini di bolehkan dalam islam, setidaknya ini lah keyakinanku. Namun disisi lain mas yanto menikah bukan dengan seorang wanita sungguhan, dia adalah wanita peralihan, orang bilang waria, banci atau apalah yang sering disebutkan orang-orang.
Bulan depan mas yanto akan menikah, dan sungguh ini bukanlah seperti kisahnya icha dan umar, mas yanto sadar dan tau bahwa dia adalah seorang transgender, entah setan apa yang menyusup di otak mas yanto sekarang ini. Dan akupun hanya bisa diam, diam dari rencana bohong suamiku sendiri, berbohong pada pihak KUA, berbohong pada anak-anaku, dan berbohong pada nuraniku sendiri, dan bahkan aku jadi bimbang apakah aku masih punya nurani.
Namanya adalah Meisyah, begitulah dia memperkenalkan dirinya padaku sepekan lalu. Sekilas memang tiada cela baginya untuk menjadi seorang wanita, wajah putih berseri di balut lebarnya jilbab yang menjulur sampai menutup dadanya, kata-katanya yang teratur rapi lembut dan sopan seakan dia adalah wanita cerdas dan berpendidikan. Dan memang bukan isapan jempol, dia adalah lulusan S1 terbaik jurusan ekonomi di salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini.
Yah…aku akui dari beberapa sisi aku kalah telak dibandingnya, aku hanya wanita kampung, memakai jilbab pun baru beberpa bulan yang lalu itupun atas dorongan anak sulungku. Pendidikan tidak ada yang bisa ku banggakan dihadapanya, aku yang hanya lulusan sekolah dasar tidak ada seujung kukunya di bandingnya. Namun setidaknya satu hal yang aku banggakan yang tidak dia miliki, aku adalah wanita asli dan dia adalah abal-abal.
Amang ikak
[12 Juni 2011]