Minggu, 20 November 2011

Buah jatuh tidak jauh dari pohonya..?


Sebuah cerita diangkat dari kehidupan nyata.

Malam belumlah larut saat lelaki itu pergi meninggalkan rumahnya, dengan sepeda ontanya lelaki itu  melaju menembus dingin malam, menyibak remang-remang cahaya rembulan dijalanan persawahan.  Sebatang rokok tengwe terselip di pinggir bibirnya, matanya tajam menelisik kedepan, tangan kekarnya berhati-hati memegang setang sepeda dari jalan yang licin karena hujan gerimis sore tadi.

Sejenak lelaki itu menghentikan kayuhan sepedanya di sebuah kolong,  diambilnya senter modifikasi dengan  lima buah batree ABC didalamnya, sejurus di nyalakan senter itu untuk mengamati aliran air yang lewat di kolong itu,  ada yang aneh dengan aliran air di kalen ini, seharusnya jam segini air itu sudah sampai di kolong ini. Ya..malam ini giliran sawah Hj Ruwah untuk diari, janda tua yang sawahnya ada diujung deket pekuburan umum.

Lelaki itu turun dari sepeda, diletaknya sepeda di pinggir galengan lalu mencabut sebilah celurit yang konon asli dari Madura, lalu berjalan menelusuri kalen  sambil menyelidik gerangan penyebab air tidak mengalir.  Pekerjaan lelaki itu memang terkesan keras, betapa tidak selain sebilah celurit itu ia juga memiliki beberapa “peggangan”, ya..peggangan berupa jimat-jimat. Kerasnya persaingan untuk mendapatkan air irigasi (terutama di musim kemarau) membuat ia sedikit memperkuat diri dari ancaman perkelahian, sabotase, dan pertentangan antar pemilik sawah.

 Pernah sekali waktu di tunjukanya jimat-jimat itu pada rekanya, rekan disawah sekaligus pemilik sawah. Ada sepasang kul buntet berwarna putih susu, sebuah batu semar mesem berwarna merah marun dan sebatang  besi kuning sebesar jarum jahit. Menurutnya benda-benda inilah yang masih bisa membuatnya bertahan ( dan nanti karena sebab hilangnya jimat ini kemudian ia mengundurkan diri sebagai pengatur air) bekerja sebagai pengatur air di desa ini, sebuah gengsi pekerjaan yang luamyan elit untuk sebuah desa kecil yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian bersawah. 

Langkahnya terhenti disebuah persimpangan kalen, tidak heran jika air yang seharusnya kebawah justru  tidak mengalir karena di sumbat dan dialirkan ke arah lain. Tanpa pikir panjang di tebasnya  dengan cluritnya batang-batang pisang  yang digunakan sebagai penyumbat kalen itu, sehingga air mulai mengalir deras kebawah, ya… kebawah kearah sawah Hj Ruwah yang padinya hampir manguning karena tanahnya kering kekurangan air.

=====================

Dialah bapaku, yang telah berjuang sepenuh tenaga untuk menghidupi aku, emak dan tiga kakaku. Dan sekarang (tepatnya sejak beberapa tahun lalu) aku sadar, ada kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh bapaku. Percaya kepada benda-benda yang disebut jimat, adalah salah satau perbuatan syirik yang bisa menghapuskan amal seseorang.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

 “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, tiwalah2 itu termasuk perbuatan syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dan beliau menshahihkannya)

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Ini bukanlah hal remeh, tututan hidup sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan kualitas keimanan seseorang. Bapak sangat ingin anaknya sekolah tinggi, sehingga tidak hanya menjadi buruh tani, meski sekrang aku  tau apapaun pekerjaan yang dilakukan dengan tangan sendiri adalah rejeki yang paling baik.
Dan masa itu telah berlalu, semoga sekarang bapak menjadi lebih baik dengan bimbingan kakak ketigaku, aku si bungsu hanya bisa menyebut namanu di setiap do’a ku, semoga Alloh mengampuni kesalahan bapak dimasa yang lalu.

“ Allohummagfirli waali waa lidayya war hamhuma kamaa Robayaani Shoghiiro”

Catatan: 

Cerita ini sengaja saya angkat kepermukaan bukan untuk membuka aib bapaku, akan tetapi sebagai ibroh bahwasanya sejelek apapun orang tua ingin anaknya lebih baik dari dirinya atau minimal tidak menjadi seperti dirinya. Dan juga perkataan orang “buah jatuh tidak jauh dari pohonya” tidaklah menjadi patokan baku dalam menilai kehidupan seseorang.

Abu Hatim
[28 Maret 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar