oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 7 Oktober 2010 jam 13:20
Kota ini semakin berkembang, bahkan tumbuh melebihi pertumbuhan rata-rata pertumbuhan nasional.
Dan pada akhirnya, kini ku merasa nyaman di pekerjaan ku saat ini, ya cuma penjaga taman kota, tapi begitu ku nikmati, meski tidak dalam status pegawai, hanya tenaga kontrak.
Pada awalnya, aku hanya buruh bangunan dalam pekerjaan pembangunan taman ini, tapi pada saat penyelesaian pekerjaan, rasa sayang ku terhadap tanaman bukan cuma memunculkan sekedar menyelesaikan pekerjaan. Membuat seseorang dengan seragam dinas mendatangi ku dan mengeluarkan sebuah kalimat.
"dek, saya suka dengan sentuhan akhir garis taman ini, bersediakah adek saya pekerjakan sebagai tenaga penjaga taman ini, meski cuma sekedar tenaga kontrak, tapi siapa tahu ada jalan bisa jadi diangkat PNS nantinya?"
Kalimat yang seperti air bersih memandikan debu dan keringat ku. Tanpa jawaban, kepala ku mengangguk dan sekian detik kemudian mulutku berucap, "terima kasih pak."
Sudah delapan tahun ku tekuni pekerjaan ini, mengerjakannya dengan teliti, menyapa rumputnya setiap pagi, memangkas tanamanannya dengan kasih sayang. Menyirami pokok tanamannya dengan ku sertai doa. Begitu ku nikmati, tanpa keluh kesah dan terus bekerja.
Hingga begitu lama ku disini, tanpa terasa, semua begitu akrab, bukan cuma tanaman dan segala pernik taman kota ini, bahkan pengunjung yang berulang kali datang biasa bertegur sapa dengan ku, meski cuma sekedar basa basi, dan anak-anak mereka pun terbiasa menyapa ku dengan panggilan "ami,.."
Sekian lama tegur sapa itu, sudah lama hingga terkadang ku lupa atas harapan diangkat sebagai pegawai negeri. Dan waktu pun menghadirkan pasangan hidup ditaman ini, menghasilkan dua buah hati, mengisinya dalam hati dan hari.
Dan hari ini, aku duduk termenung, hal yang lama tak kulakukan, menatap hijau dedaunan, mengisi pikiran dengan beragam perenungan.
Derap kota ini begitu melaju kencang, melintasi jalanan berdebu dan menggantinya dengan jalanan yang lapang. Tanpa sadar surat itu menyatakan bahwa aku harus mengalah oleh kata perkembangan.
Ya, rumah yang ku diami, bersama istri dan para buah hati. Sebuah rumah tumpangan di tepi taman, kini harus digusur, dan bertambah jadi bagian luasan taman itu seiring kebijakan tentang kawasan hijau, bukan hanya aku, bahkan para pedagang itu harus rela disisihkan.
Hari ini, tersadar aku, gaji ku tak cukup untuk mengenal kata menabung, hanya bisa disisihkan oleh istri dan itu pun sudah terpakai untuk anak pertamaku yang mulai masuk sekolah.
Sandarkan kepala ku menengadah, menatap ranting pohon mahoni yang bertautan dengan pohon asem, sebaris pasukan semut menyeberanginya. Membuat ku terkenang percakapan semut yang mengingatkan temannya untuk menyingkir saat pasukan megah Nabi Sulaiman melintasi lembahnya.
Dan aku harus tersingkir.
Adzan dzuhur menggema, menyadarkan ku dari anganan, dan menempatkan ku dalam kondisi bagian dari Pasukan Nabi yang tersenyum dalam doanya.
"maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa :'Ya Tuhanku, berikan aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi; dan masukkan aku dengan rahmat-Mu kedalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". QS 27 : 19 "
Maaf kan aku semut karena tak bisa berlama lama dalam barisanmu, genderang perang ku ada disini, ada di kaum yang sama dengan kaum Nabi yang kaya dan seorang raja. Dan yang kami sembah adalah Maha Raja dan Maha Kaya.
Ini yang paling berkesan, sungguh pas dengan kondisi sekarang...
BalasHapus