oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 18 Oktober 2010 jam 4:30
Terlintas bayangan awal percakapan kami diperpus saat itu, ku menghampiri seorang gadis dengan jilbab abu abu dikala sunyi. Dengan percaya diri ku duduk disampingnya, lantas menyapa, "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam", jawabnya.
"Boleh ku duduk disini, sambil menemani mu?"
Dia tak menjawab, membuka tas, meraih pena dan selembar kertas catatan, menulis sesuatu, dan menyodorkannya pada ku.
"Janganlah salah seorang diantara kalian berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahromnya) karena setan adalah orang ketiganya, maka barang siapa yang bangga dengan kebaikannya dan sedih dengan keburukannya maka dia adalah seorang yang mukmin."
Seperti sebuah larangan dan teguran keras.
"Terima kasih mbak." ucap ku sambil berlalu.
Tapi seiring waktu, kami sering bertemu diperpustakaan, dan kami menjadi saling melempar salam saat bertemu. Dia menjadi familiar dengan ku, dan dikala ada pengujung lain diperpustakaan itu, maka ku selalu memberanikan diri duduk disampingnya dengan selisih satu bangku. Sesekali ku selingi percakapan menanyakan identitasnya dan dari situ aku tahu nama dan angkatannya.
"Anind," ku menyapanya, adik angkatan beda jurusan dengan ku.
"ya mas, baca buku apalagi?" balasnya.
"hehehe,.. Novel nind, Omerta, ku bawa dari rumah" balas ku, "kamu baca apa?"
"biasalah mas, journal sapi perah."
Dia pernah berkata, sangat tertarik dengan sapi perah dan menunjukkan sebuah ayat kepada ku, "Dan di antara ada yang buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga. (Al-Baqarah : 78)".
"Agar kita tidak sekedar menduga-duga mas, saat di butuhkan saran dari kita tentang sapi perah, maka ku suka membaca journal tentang sapi perah."
"Hmm,.. Gitu ya, bagus deh." respon ku saat itu. Aku cuma tersenyum. Dan menggumam dalam hati, "aku ga peduli sama akademis mu, aku disini tertarik oleh daya tarikmu."
Jujur, wajahnya bukan dalam kategori kecantikkan yang sempurna, tapi auranya memancar dari ketegasan saat mengatakan tidak dan kerapian menyimpan perasaannya saat ku bercanda.
Sekian waktu berlalu, dan kami menemukan satu tempat selain perpustakaan, sengaja ku undang dia, untuk mau menemaniku. Satu tempat yang harus ku promosikan terlebih dahulu, bahwa tempat itu bukan lah tempat yang sunyi, tapi aku bebas bercerita tentang ide ide yang sering kali ku selingi canda tawa ku. Karena teramat sering ku mendapat teguran dari penjaga perpustakaan dan pengujung lainnya.
Akhirnya dia mau, entah karena apa, tapi ku tak peduli, karena aku butuh teman bicara. Bangku beton ini berbentuk Letter U, dia duduk kearah jalan dan gedung kampus seberang. Matanya terlalu sering menatap kedepan dan kebawah, tanpa pernah menoleh ke arah ku. Dan aku duduk diarah samping dengan jarak yang sengaja ku buat untuk menjaga perasaannya.
Aku bercerita tentang apa saja, bahkan aku tahu mungkin dia tidak setuju atas pendapat ku, tapi dia tak bosan menemani ku. Ada kala ku bercanda dengan cerita cerita lucu, aku tertawa, dan sesekali meliriknya, hanya senyum simpul yang terbaca dari mata ku. Aku tak pernah berani menatapnya lama lama, hanya sesekali mencuri pandang dari ekor mata.
Bahkan kadang kala, aku tak bercerita apa apa, cuma mengajaknya mengamati orang orang yang berlalu lalang di seberang pagar. Saat seperti itu kami hanya terdiam. Karena ku di sibukkan menganalisa proses apa yang di alami para pejalan kaki, sehingga aura wajah mereka nampak seperti itu. Ada wajah letih, ada wajah sumringah, ada wajah sedih, ada wajah kusut, dan ada banyak wajah yang seperti terburu buru.
Sebelum tiga hari yang lalu itu, kami jarang bertemu, kemungkinan dia mulai disibukkan dengan aktifitas pratikumnya. Ada rasa rindu yang menyerebak, tapi tak ku paksakan utk bertemu di selain dua tempat itu. Dan tiga hari yang lalu, ku sengaja mencarinya di perpustakaan, ku lihat dia ada di baris kedua, berdua dengan temannya. Ku hampiri, "Nind, aku mau bicara, penting. Kita bicara di bawah pohon akasia ya ?" aku bicara dengan sedikit pinta.
Tak lama, dibereskan buku buku dihadapannya, dan sedikit basa basi dia permisi dengan temannya.
Bergegas aku berlalu, dan ku tahu dia mengikuti langkah kaki ku. Ku perlambat langkah kaki ku, meski ku tahu, Anind takkan pernah mau mensejajariku.
Sesampainya di bawah pohon akasia, ku duduk, dan menantinya bisa siap menerima semua kata kata yang sengaja ku siapkan iramanya.
"nind, aku harus pergi."
"mau naik gunung lagi mas?"
"bukan, aku mau pergi." tiga kosakata itu sengaja ku ucapkan dengan jeda, biar dia tahu maknanya.
"kemana ?" dari ekor mata ku, baru kali ini ku menyadari dia berani menatapku.
"aku terlalu banyak membaca yang tak ada hubungan dengan akademis kita, dan aku merasa harus mengembara, aku tak tahu buku mana yang paling benar untuk dahaga jiwa. Aku harus mencari kebenaran di dunia luar sana."
"bagaimana dengan kuliah mas?" kali ini bisa ku baca sendu dua bola matanya.
"ku tinggalkan," ku hela nafas, "pendidikan formal menjadi racun di jiwa bebas ku nind"
Dia tak mendebatku, sesuatu yang ku harapkan, "aku tahu jiwa mas, dan aku tahu arti kata percuma saat memberikan saran kejiwa yang sedang membara."
"Maafkan aku mas, aku tak bisa berlama-lama, jadwal kuliah berikutnya sudah menunggu."
"Temui aku tiga hari ke depan disini, di jam yang sama ya mas."
"Permisi dulu mas, assalamualaikum," wajah sendu Anind pun berlalu.
Dan hari ini aku sudah menunggunya terlebih dahulu, duduk tercenung, berpikir, betapa rapi dia menyimpan perasaannya, meski sekelebat ku bisa baca kalau ada rasa itu di hatinya. Dan begitu juga aku. Karena itu hanya pada Anind ku ungkapkan kegelisahan ku.
"Assalamualaikum." sebuah suara menyadarkan dari lamunan ku, sebuah resonansi yang akrab di hati ku, menimbulkan debar yang tak menentu.
"Masih membulatkan tekad untuk pergi mas ?" sebuah pertanyaan langsung menohok ulu hatiku.
" Iya Nind." jawabku dengan nada yg sedikit ku mantapkan, untuk menutupi rasa ragu yang menggoda, ragu untuk meninggalkan sesosok indah dalam relung batin ku.
"Aku tak berhak melarang mas untuk terus pergi." Suaranya terdengar lirih, dan kali ini, dan baru kali ini, kami saling menatap bola mata. Kulihat nanar bola matanya, begitu banyak makna dan sebenarnya ku harap dia meronta melarang hasrat meninggalkan semuanya.
"Aku tak bisa menemani mu lagi mas, sampai hari yang telah kau tentukan untuk pergi. Jadi ku ucap selamat jalan untuk dua hari nanti"
Tangannya menyodorkan sebuah kertas yang terlipat rapi. "Tolong di pahami ya mas."
Kali ini dia berlalu, membuat ku terdiam begitu dalam tanpa sempat berkata apa-apa.
Lima langkah kaki di menoleh, " Mas, kuatkan diri mu. Wassalamualaikum." Anind terus berjalan melangkah meninggalkan tatapan kedua dan mungkin terakhir kalinya.
Setelah bayangan langkah Anind tiada, ku buka lipatan kertas yang tadi disodorkan Anind kepadaku.
Perlahan, sebaris kalimat terbaca dan menyapa seperti menghenyakkan ke ego an ku.
"Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, " Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk menjual dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat. (Al-Baqarah : 79)"
Meski penempatan ayat meneurut ana kurang pas [sebagian], tapi alur flsh back nya yang unik begitu menarik.
BalasHapus