[ Sebuah fiksi, sebagai cerminan hati]
Di ruangan yang hanya terdapat kursi dan poster-poster kesehatan itu, Hasan hanya bisa duduk menanti , kegelisahan hatinya tidak membuat dirinya bimbang, kekhawatiranya akan keadaan seseorang yang sangat dicintainya tidak membuatnya cemas, dengan kematangan jiwanya terpancar ketabahan yang mendalam dalam sorot mata dan raut mukanya.
Sudah hampir sepuluh menit waktu berlalu, belum ada seorangpun yang keluar dari ruangan itu, akan tetapi, meski jiwanya tampak tabah akan cobaan itu, tetap saja dia tidak bisa menahan menetesnya buliran air bening itu dari matanya, mengalir di pipi dan membasahi jenggotnya.
Terbukalah pintu dan keluarlah seorang wanita paruh baya, dengan setelan warna putih dan stetoskop yang terkalung di lehernya. Hasan berdiri dan menyapa orang tersebut “ Bagaimana keadaan istri saya dok..??” Dokter itu diam sejenak, “ Mari keruangan saya, biarkan istrimu istirahat dulu” . Sebuah jawaban yang tidak seperti Hasan harapkan, dan diapun berjalan di samping dokter menuju ruangan yang dimaksud.
***
Kabar itu sangat tak diduga, sudah beberapa kali hasan gagal dalam prosesnya, dan yang terkahir ini dia sudah pasrah, jika memang belum jodoh dia akan konsentrasi lagi dalam belajarnya, karena dia merasa mungkin belum waktunya untuk berumah tangga, mengingat usianya yang masih cukup muda. Namun dengan datangnya kabar bahagia itu, maka keinginanaya untuk menyempurnakan separuh agamanya akan segera terwujud, sebagaimana sabda Rosululloh –Sollollohu ‘alaihi wa sallam-
“Barangsiapa yang Allah memberikan rizki kepadanya berupa istri yang shalihah berarti Allah telah menolongnya melaksanakan setengah agamanya, maka hendaknya ia beratkwa kepada Allah untuk (menyempurnakan) setengah agamanya yang tersisa”.
Acara walimah telah usai, meski dengan sangat sederhana namun sudah cukup mewakili dari apa yang di contohkan Rosululloh –Sollollohu ‘alaihi wa sallam-, “ Walimahlah meski hanya dengan seekor kambing” dengan begitu terikatlah sebuah ikatan yang suci, dibawah naungan manhaj nubuwah, Layar biduk sudah mengembang, tali jangkar sudah dilepas, perbekalan sudah dipersiapkan dan waktunya berlayar telah tiba. Hasan pun sadar, ombak disamudra sangatlah besar, belum lagi jika badai menghadang bisa jadi akan membuat biduknya karam dan tenggelam, namun hasan yakin, kerjasama yang baik antara nahkoda dan anak buah kapal akan bisa menaklukan tantangan, bahkan hujan badai yang ganas sekalipun.
***
Dipegangnya erat tangan kanan istrinya yang terbaring lemah, di kecupnya kening putihnya diantara selang-selang infus dan jilbab yang senganja tidak mau dilepas. Senyum tipis dari bibir istrinya yang wajahnya mulai memucat, menandakan betapa tabah jiwanya dalam menerima cobaan ini, dengan suara berat istrinya berkata “ Ma’afkan saya ya mas…saya belum bisa menjadi istri yang baik bagimu” belum selesai ucapan istrinya itu, jari telunjuk hasan sudah menempel di bibir pucat istrinya “ Jangan ucapkan itu syifa’ , kamu adalah belahan jiwaku dan pasti yang terbaik bagiku, yakinlah ini adalah takdir dari Alloh dan pasti ada hikmahnya, tidaklah hal ini akan menambah keimanan kita jika kita mau bersabar karenanya, apakah syifa’ sudah lupa
“ Perkara orang mu’min sungguh menkjubkan, apabila dia diberi nikmat maka dia bersyukur dan itu baik baginya, dan apabila dia ditimpa musibah maka dia bersabar dan itupun baik baginya”.
Sebuah perkataan yang sangat indah, bagaikan suntikan insulin yang memberikan kekuatan tersendiri pada jiwa syifa, sebuah perkataan dari seorang suami yang sangat di cintainya. Dengan senyum khas dari bibirnya yang masih pucat syifa’ kembali berkata “ Mas…Aku sudah tau apa yang terjadi, mas ga usah khawatir…ga apa-apa kok mas”
Hasan tak kuasa lagi menahan jiwanya, di peluknya erat tubuh istri tercintanya, dan buliran air itu kembali membasahi pipi dan jenggotnya. Nampak ingin sekali syifa’ mengusap air mata suaminya, namun lenganya terasa begitu berat untuk digerakkan, kembali syifa’ berkata “ Mas…selamatkan anak kita, pilihlah anak kita mas…!!!”
Hasan bangun dari memeluk istrinya, ditatapnya nanar mata istrinya yang juga mulai meneteskan air mata, diusapnya dengan lembut pipi istrinya, jiwanya bergejolak, dia dihadapkan dengan dua pilihan yang sangat sulit buat dirinya saat ini, yang kedua pilihan tersebut resikonya adalah sebuah kematian, sebuah pilihan yang mengorbankan salah satu dari dua orang yang sangat dicintainya, syifa’ istrinya atau buah hatinya, bayi yang masih dikandungan istrinya, yang sudah lama di idam idamkanya, sudah lama diharapkan kehadiranya, namun inilah takdir dan dia harus tabah dan bersabar menerimanya.
Syifa’ kembali tersenyum tipis dan berkata “ Mas…bukankah seorang wanita yang meninggal karena anaknya yang dilahirkan dijanjikan Alloh syahid..?” , Hasan kembali tergoncang, buliran bening itu kini lebih deras mengalir, bahkan sekarang sampai menetes melalui sela-sela jenggotnya. Ia pun berkata “ Engkau benar wahai istriku….” Ucapanya terhenti, isak tangisnya mulai terdengar memecah kensunyian ruangan putih yang hanya disekat selembar kain sebagai pemisahnya antara tempat tidur sebelah, tak pernah sebelumnya seorang hasan ibnu yasir, seorang pemuda pantang mengeluarkan air mata, menangis, kecuali dihadapan Rabbnya.
Perlahan hasan mengusap air matanya, di tengadahkan kepalanya keatas dan berkata “ Biarkan Dzat yang Maha Adil yang memutuskanya wahai istriku…” mendengarnya Syifa’ tersenyum, di pejamkan kedua matanya, seakan-akan memohon kepada Alloh yang terbaik untuk mereka berdua.
Abu hatim.
[29 September 2010]
Maunya bersambung...cuman ga kesambung sambung..:D
BalasHapus