Tak terasa waktu telah sekian jauh, menaburi peristiwa dengan kisah rutinitas yang biasa saja. Mail temen ku masih asik bermain dengan pekerjaannya, pekerjaan yang sederhana, sebagai penjaga kebun, kalo boleh dibilang itu kebun, karena aku melihatnya hampir mirip hutan, tanaman yang tumbuh sangat tidak beraturan, hanya saja kebun itu tak di rimbuni oleh semak belukar.
Di kebun yang luas itu, milik seorang kaya di kota, Mail asik meniti hari harinya dengan keriangan, tanpa kesusahan, selalu ada senyum menghiasi bibirnya. Saat ku melintasi tepi pondoknya selalu ada salam yang keluar dari senyumnya yang manis.
"Singgah dulu lah bang, ada sepiring hangat keladi hutan yang ku rebus pakai api kayu pelawan," tawaran yang menggoda di awal pagi, membuat ku menghentikan deru motor dan menaiki tangga pondoknya.
Dua orang anaknya tanpa asik dgn piring di hadapannya, mencoletkan hangatnya keladi rebus ke piring kecil yang ku tahu pasti berisi madu.
"Pohon ara ditengah kebun itu bang tak henti hentinya di singahi lebah." Mail langsung tahu maksud arah lirikan mata ku.
Dia memang di bebaskan oleh pemilik kebun untuk melakukan apa saja diatas kebun itu, tugasnya lebih kearah menjaga deretan pohon durian yang berumur puluhan tahun, yang buahnya selalu menjadi primadona maniak durian dikota, dan sang tuan hanya datang di kala musim durian tiba.
"Kau tak bosan tinggal disini saja mail?" tanya ku. Aku tahu dia pernah mengecap bangku kuliah dulu, maka dari itu kesabarannya menjalani rutinitas di kebun sedikit membingungkan ku.
"Aku sudah bosan menghirup udara kota bang."
"Kasihan anak2 mu, mereka tak sempat mengenyam bangku sekolah." ujar ku lagi.
"Mereka tak bodoh bang, hutan ini memberikan pelajaran yang lebih berarti."
"Mereka masih bisa membaca dan menulis, aku mengajari mereka setiap hari."
Ku lihat memang tumpukan buku dan majalah tersusun rapi di sudut pondok sebelah kanan depan, bersih tanpa debu, yang berarti buku2 itu selalu dijamah, dibaca dan disusun kembali.
"Si bos selalu berbaik hati bang, semenjak ku minta pertama kali, tiap kali datang selalu membawa buku buku dan majalah bekas."
"Pendidikan disekolah hanya memberikan dua pelajaran berharga bang, bahasa dan ilmu berhitung, dan aku telah menyingkatkan pelajaran untuk mereka di sini."
"Selebihnya kebun dan hutan ini yang mengajari mereka tentang makna hidup dan kehidupan."
"Memberi tahukan kepada mereka tentang arti yang lebih berarti dari setiap dengus nafas mereka, bahwa itu semua bukan cuma sekedar proses pernafasan."
"Bahwa itu semua adalah bagian dari sistem yang luar biasa teraturnya."
"Dan aku tak melihat keteraturan itu dikota, ditempat yang dihuni oleh banyak manusia-manusia berilmu."
Aku masih belum bisa memahami jalan pikirannya, seberapa teraturnya jagad mini si mail, dia masih menemukan cuaca yang berubah, masih merasakan patukan ular di kaki, seperti yang dia ceritakan dulu.
"Alam tidak membunuh bang," pikiran ku kembali dibaca mail.
"Manusia yang entah sengaja atau tidak melintasi keteraturan proses alam, dan waktu bagi manusia itu telah tiba, yang membuat kita melihat matinya manusia sebagai momen ketidak beraturan. Semuanya masih dalam skema yang teratur bang."
Aku masih belum memahami makna pembicaraannya. Bagi ku, jika tambang timah inkonvensional ku setiap hari menghasilkan pasir timah dalam jumlah puluhan kilo, maka hidup ku akan teratur, dengan uang yang ku dapat aku bisa mengatur setiap langkah keseharian ku.
Dari situ aku memahami, bahwa dunia bukan dalam sebuah keteraturan, karena tidak setiap harinya aku membawa hasil timah yang memuaskan.
"abang masih menempatkan parameter nilai untuk menghitung kejadian, karena tidak setiap kali hasil yang kita peroleh sesuai dengan harapan kita, oleh sebab itu abang mengambil kesimpulan bahwa hidup dalam ketidak beraturan."
"ayo bang, jangan lupa dimakan lagi keladinya."
"enak juga keladi dicocol madu ya mail."
"kan tadi waktu aku menyuruh abang singgah sudah bilang, ku merebusnya pakai kayu pelawan, kayu hutan ini, kayu terbaik dengan kalori pembakaran yang tinggi, makanya citra rasanya menjadi berbeda."
"Menikmati seadanya, itu yang benar bang, alasan yang kusampaikan tadi masih dalam parameter nilai, dipondok kami, sepagi ini cuma ada rebusan keladi, suasana hati yang menterjemahkan ketenangan hutan, membuat kita lupa akan hasrat dan keinginan atas rasa nikmat dari makanan yang ada dikota, dari situ kita memunculkan rasa nikmat makanan ini dialam pikiran kita bang."
"Menikmati seadanya, akan membuat kita paham, kala hasrat dan nafsu menjadi tiada, jagad raya ini berjalan dengan begitu teratur dan rapinya."
Oleh: Ahmad Hendra Sutiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar