Sabtu, 19 November 2011

Akulah kerbau yang bodoh itu

oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 12 Oktober 2011 jam 14:03
Seekor burung kecil berkata pada dirinya sendiri, " Betapa sepinya dunia ku ini, sunyi, sepi dan dingin." Setelah sekian lama dia jalani kehidupannya, membuatnya mengambil keputusan utk menyusuri kehidupan yang lain, yg di harapkan akan berbeda dengan ke seharian yg dia jalani.

Hingga tiba waktunya, di pagi hari saat matahari mulai terbit keputusan itu di jalaninya, maka yang paling masuk masuk akal menurutnya adalah mengejar matahari.
Mulai lah burung kecil itu terbang menuju matahari, mengejar kehangatan sinar matahari itu, terus di kepakkan sayapnya, bersemangat, angin yang berhembus tak membuatnya membelokkan arah, selalu menuju matahari.

Takkala matahari mulai meninggi, burung kecil itu terbang ke arah atas, hingga tak ada daya terbangnya yang semakin menanjak. Tepat mendekati siang hari, burung kecil itu pun kelelahan, hinggap dan beristirahat di pucuk dahan pohon tertinggi yang ada di dekatnya, merasakan kepuasannya mengejar matahari, sambil menerima terpaan panasnya siang yang menyengat, di hembus semilir angin membuatnya merasa tenang dan terlelap.

Takkala terbangun, matahari kembali condong ke arah barat, burung itu memperhatikan matahari, dan dia terkejut, matahari bergerak perlahan seperti menjauhinya.

Dia kembali merindukan saat matahari menerpanya begitu dekat, maka semangatnya terbangun utk kembali mengejar matahari. Kembali sayap kecilnya di kepakkan, membuatnya kembali melaju mengejar matahari.

Semakin semangat membakarnya, semakin cepat pula burung kecil itu terbang, semuanya wujud dr kerinduan diterpa hangat matahari yg serasa begitu dekat dgn hidupnya. Kecepatan yang sepertinya belum pernah di capainya, semangat itu bgt menyala-nyala, melajukan tubuhnya menuju matahari yg perlahan semakin menjauh ke arah barat.

Hingga di saat burung itu merasakan betapa matahari tidak lah kembali mendekat seperti pengejaran yang tadi, malah di rasakannya semakin jauh, meski burung itu merasa kecepatan terbangnya telah begitu cepatnya. Semakin cepat, dan lebih cepat lagi, dan tak terasa matahari semakin meredup di ufuk barat, perlahan dan pasti matahari telah meninggalkannya. Hilang menjadi gelap gulita, menjadi malam yang kelam dan mendinginkan.

Burung kecil itu, seperti kehilangan arah, tak tau mana yang harus di tuju, tak ada lagi matahari tempatnya mengarahkan kepakkan sayapnya.

Meski dia terus terbang, burung itu terbang dalam kelelahan. Kegelapan membuatnya hilang arah. Perlahan arah terbangnya menuju ke utara, semakin ke utara. Dalam lelahnya burung kecil itu tak berhenti mengepakkan sayapnya, semua adalah rasa rindu akan situasi yang di alami siang tadi, semakin ke utara.

Di rasakan burung kecil itu, rasa dingin semakin menguat, meski dia kelelahan, tak menghilangkan rasa dingin yg menyusup, semakin ke utara.

Hingga ada batas di mana burung kecil itu terbang dan di terpa butiran putih yang halus, yang melayang, yang mengaburkan jarak pandang, dan menguatkan rasa dingin yang menyelam. Semakin ke utara.

Tak di rasa, burung kecil itu telah memikul tumpukan putih di garis punggungnya, salju yg mulai membebaninya, tak menghentikan semangat terbangnya, yg mulai di rasakan kalah oleh kelelahan, daya terbang yang menurun, kecepatan yang memperpelan, ketinggian terbang yang mulai merendah, beban salju yg mulai memberatkan. Semakin ke utara.

Dan saat puncaknya, burung itu terbang rendah kelelahan, mendekati lapisan bumi yang di selimuti warna memutih, kelelahan membuat burung kecil itu terhempas tak berdaya, lelah, dan tak bisa berupaya, dan butiran putih salju terus menimpa, menimpa semakin lama dan membenamkan dlm gundukan yang menjebaknya, dan hanya tinggal kepala yang berdaya, saat anggota tubuh burung kecil itu membeku.

"Tuhan, beri kan pertolongan Mu." hanya itu yang bisa di upayakan sang burung kecil, di terus di ucapkannya, di ucapkannya hingga fajar mulai menyingsing, dan matahari kembali menerpakan sinarnya.

Tp salju yg menebal, tak juga mencair, msh membebaninya, masih membuatnya tak berdaya.

"Tuhan, berikan pertolongan Mu." hanya itu, yang bisa di lakukan. Masih berharap.

Dan, takkala putus asa burung kecil itu menyergap, tak berharap lg pertolongan datang. Putus asa, dingin membeku, sunyi menyergap, lelah menemukan tempatnya.

Datang lah seekor kerbau, seekor kerbau dungu, yang bergerak perlahan menghampirinya, sangat perlahan.

"Tuhan, kenapa kau kirimkan kerbau dungu ini, kenapa bukan makhluk lain yang bergerak sigap?" teriak sang burung kecil kesal akan sikap kerbau dungu itu.

Sang kerbau hanya diam, mendengus, dan hanya pergerak perlahan. Tak berkata atau menjawab teriakan sang burung kecil. Mendekat, dan lebih mendekat lagi, hanya diam, kerbau itu pun mengencingi gundukan salju yg menimpa burung kecil. Kencing yang kuat, menyirami burung kecil itu.

"Kerbau bodoh! Kenapa kau kencingi aku!"
"Bodoh! aku terperangkap, kenapa kau kencingi aku kerbau bodoh."

Masih terus diam kerbau itu, dan terus menyiramkan kencingnya yang hangat dengan kuat. Membongkar salju yg menguburi tubuh burung kecil itu.
Perlahan, dan pasti, gundukan salju terbongkar. Hingga burung kecil itu tak lagi terbenam.

Hanya diam, bergerak perlahan, kerbau itu kembali bergerak, dan 'plok', kerbau itu memberaki burung itu.

"Kerbau bodoh, kenapa kau beraki aku, Tuhan kenapa kau kirimkan kerbau bodoh ini yang hanya menambah beban ku"

Rasa hangat tai kerbau itu, memberikan kehangatan, menjalar, menyusupkan rasa hangat di setiap pembuluh darah burung kecil itu, rasa hangat, seperti membebaskannya dr rasa dingin yg membekukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar