Desah udara malam mendesis. Berat tubuh ini melangkah, tertatih dalam dekapan rasa malas karena udara yang begitu dingin. Takbir kualunkan pelan, Allahu akbar !!! Menetes air dipelupuk mata, rasa aneh ini menyusup. Sejuk mengalir melalui pembuluh nadi. Kuungkap semuanya pada Robb semesta alam. Nafasku sesak dalam kesejukan, aliran darahku hangat dalam kerinduan. Kupegang air ini, dingin. Kata ibuku, jika ada air keluar dari mata itu berarti aku sedang menangis. Aku menangis dalam kenikmatan, untuk apa ? sungguh aku juga tidak tau. Lirih kulantunkan doa,
"Robbi ighfirlii dzunuubii waliwalidayya warhamhuma kamaa robbayaani shoghiro"
Aku menangis, deras, air mata ini sulit kubendung, kata-kata ini begitu menyentuh, aku hanya sekedar tahu apa artinya namun tak berfikir olehku untuk menyertainya dengan tangis seperti ini. Bukankah anak-anak kecil diluar sana menangis karena jatuh dari sepeda, menangis saat tidak dibelikan es tulilut, lalu air mataku ? dzunuubi, terbayang gambar diriku yang dengan tanpa alasan menyakiti Allah dengan melanggar perintahnya. Saat aku lalai dengan kewjibanku sebagai seorang hamba.
Selesai tangisku tadi malam, sibuk aku mengungkap kenapa orang-orang menangis. Kuabaikan pesan singkat pikiranku ini yang tak begitu penting. Kuambil tas putih diujung kamar tidurku, tepat jam 6.30 kutahu inilah jam macet kota Bekasi. Puskesmas tempatku bekerja berjarak sekitar 4 km dari rumah sederhanaku. Kucium dengan khidmat tangan ibu yang renta. Arggh aku merasakan air lagi dikedua pelupuk mataku, lagi-lagi aku menangis.
“Kenapa Ima?” tanya mamaku
“ndak apa-apa ma, kelilipan mungkin ma, Ima berangkat dulu ya ma, Assalamu’alaykum” segera kuberlari kecil, pagi ini aku kehilangan keisenganku. Eitss, nggak jadi, aku ingin mengamati semua tangis yang kutemui dijalan, semua tangis yang tercecer dengan percuma, dan semua tangis yang terangkum dalam wadah yang indah. Hihihi ini mungkin isengku yang bermakna.
Angkot lemot yang kunaiki merayap menyusuri jalan besar di bekasi, entah apalah ini namanya, kusaksikan pengemis kecil nan dekil yang kini sedang memelas. Kutahu tatapan itu, mata yang pernah aku lihat tatkala aku masih kecil meminta untuk dibelikan makan karena lapar. Pengemis kecil ini lapar, tangisannya benar, dia hanya berusaha berjuang menegakkan tulang punggungnya. Aku tau matanya menangis, kuselipkan selembar 5 ribuan ketangannya, matanya menatapku seolah tak percaya, bahagia jelas terpancar dimatanya yang mungil, dia loncat dari angkot yang lemot karena macet ini, dari jauh kulihat dia sudah mengenggam bungkusan berwarna cokelat muda itu. Aku tak tau apa yang kini dimakannya, yang jelas aku menemukan satu air mata pagi ini.
Mataku beredar ke penumpang sekitarku, didekat kaca tampak seorang ibu-ibu kaya yang mungkin sudah kehabisan taksi atau tidak sabar menunggu taksi akhirnya memilih angkot. Kipasnya dikibas-kibaskan mengusir hawa sengap didalam angkot, anaknya merengek karena jajannya tidak enak, kulihat jajan yang ia buang, sebungkus Roti Mari, huffft kalau saja roti itu diberikan kepada pengemis kecil tadi, betapa bahagia wajahnya mendapat anugerah yang belum tentu pernah ia makan selama hidupnya. Kali ini, air matakulah yang mengalir. Dulu akupun mungkin begitu, melawan orang tua karena hanya lauk tempe dan sayur asem, aku masih jauh lebih beruntung, pengemis kecil itu mungkin hanya berlauk sepotong tempe dan nasi keras.
Air mataku ketiga ternyata untuk sang sopir yang kusebut lemot angkotnya, peluhnya membanjiri muka dan bajunya. Ditengah macet yang panjang ini, dia mencari sesuap nasi untuk anaknya yang mungkin antri meminta uang SPP yang telah menunggak selama satu semester, atau istrinya yang hamil dan bingung dengan biaya persalinan, atau anaknya yang menangis-nangis karena lauknya hanya garam.
Aiiiiih, maafkan Ima pak sopir karena terlampau jauh memikirkan pak sopir dengan bayangan Ima, terima kasih sudah menyumbangkan arti sebuah air mata. Aku bangga padamu pak sopir kau banjiri tubuh dengan keringat hasil kerja kerasmu bukan keringat letih karena merampas duit rakyat. Untuk mereka kusumbangkan sebuah air mata miris.
Sepuluh meter lagi sampai dijalanan kecil menuju puskesmas, kuhentikan angkot disini. Langkah kakiku mantap, berharap mendapat hikmah dari setetes air mata. Sesampai di puskesmas, lorong khas berwarna putih ini selalu menyisakanku sebuah kenangan akan masa kecilku yang begitu ngotot menjadi perawat. Aku tersenyum di awal pagi di puskesmas ini. Tak berlangsung lama, dokter Aisyah memanggilku melalui intercome puskesmas untuk segera ke kamar 13 mawar.
Pasien bernama bu Yati, di dampingi satu orang keluarganya, anak wanita beliau tampak deras mengucurkan airmata. Kulihat bu Yati mulutnya berkomat-kamit, kudengar lirih ayat alqur’an. Tugasku sebagai seorang perawat adalah melancarkan jalannya perawatan, kubisikkan kata nasehat keanak bu Yati agar bersabar dan berserah diri kepada Allah. Kulihat dokter Aisyah mulai melakukan penanganan, dengan cekatan kubantu sebisa mungkin. Allah menaqdirkan lain, kulihat kardioskop mulai melemah, garisnya semakin lurus, kusaksikan wajah bu Yati membiru, menyebut Allah berulang kali, peranku hilang, aku tenggelam dalam bayangan yang paling aku takutkan, kematian.
Dan bayangan itu kini menjelma menjadi sebuah kenyataan, bu Yati menghembuskan nafasnya yang terakhir, wajah pucatnya memunculkan sebuah senyum di bibir yang begitu sejuk ketika orang memandang. Anak perempuannya, menatap kosong dengan derasnya airmata, suaranya tertelan kesedihannya. Dihari raya nanti, anak itu tak lagi menikmati lontong buatan ibunya, lontong yang dibuat dengan senyum bunda yang begitu hangat.
Pikiranku melayang, ke ibuku dirumah, jika sekarang aku berada diposisi yang sama, tentu remuklah hatiku. Kini deras airmata juga melanda diriku, aku telah banyak membantah perintah ibuku dan ayahku, dan saat ini aku pulang lalu orang-orang berkumpul dirumahku. Airmata keberapa pagi ini, mungkin ke-empat.
Kupulang dengan tergesa, kuluapkan rasa rindu kepada ibuku yang mungkin dengan banyak sengaja. Hanya ibu yang kupunya, ayahku yang telah lama meninggalkan kami dalam rumah sederhana penuh kehangatan kasih sayang bunda. Ibuku hanya bisa menitikkan airmata, menyaksikan putrinya sesenggukan dipelukannya, terlihat wajah tuanya yang bingung. Seandainya boleh, tentu aku akan sujud dihadapan ibuku yang aku cintai. Aku tak ingin melihat airmata keluar dari matamu.
Kulangkahkan kaki menuju kamar tempat laptopku bersemayam. Kucari sebuah folder berjudul “Video”, tertampil disana beberapa video masyayikh. Kupilih salah satu untuk malam ini, setidaknya aku menginginkan air mataku tumpah untuk yang ke-enam kalinya dihari ini. Lantunan merdu Syaikh Misyari Rashid ketika mengimami di masjidil haram membuat tubuhku bergetar, aku mendengar isak tangis beliau
Pada hari itu, kamu semua dihadapkan untuk hitungan amal; tidak ada sesuatupun yang tersembunyi kepada Allah dari perkara-perkara kamu yang tersembunyi.
Kuluapkan segala isak tangisku, berharap Allah mencabut nyawaku saat itu, saat aku berhasil menuangkan air mata karena ketakutan yang sangat terhadapnya.
Oleh : Muhammad Nur Faqih
[31 Mei 2011]
tes ya mang :)
BalasHapusBisa kalau blogmu sedang on line...kalau pas off line ga bisa...amang sudah coba kok tadi..!!
BalasHapuso0oh
BalasHapus