Sabtu, 19 November 2011

Biduk Kecil


oleh Ahmad Hendra Sutiawan pada 01 Oktober 2010 jam 3:15

Sedari kecil, kulihat ayah keluar rumah dengan memikul dayung yang dibanggakannya, kadang diwaktu malam kadang diwaktu pagi, dan kadang disore hari, waktu yang yang tak menentu, mengikuti besaran bulan.

Sebegitu bangganya ayah dengan dayung dan perahunya, sering kali kududuk disekitar ayah dan teman temannya, dan ayah bercerita tentang kehebatan dayung dan perahunya, tak lupa sesekali dengan rendah hati memamerkan kemampuan dan kekuatan saat dilautan.

Aku sambil bermain disaat itu. Karena seringnya, telinga ku terlatih mencerna cerita seru cerita seru itu menjadi sebuah frame imaginasi, uh, hilir mudik ceritanya, meski berulang kali aku tak pernah bosan untuk terus mendengarkannya. Betapa hebatnya ayahku. Seruanku didalam hati.

Tapi bukan cuma itu teman, ada satu lagi kemampuan ayahku yang teramat suka kuselami, yang membedakannya dari ayah ayah temanku yang lain. Keahliannya memancing, ya itu, itulah yang akan ku gambarkan kepadamu.
Ketika nelayan lain menuju gugusan karang yang banyak ikannya, ayahku pun kadang kesitu, tak ada beda, dan ayah memakai alat pancing yang mungkin sama tapi bahkan ada nelayan lain memakai alat pancing yang lebih mewah. Tapi dimataku ayah tetap nomor satu dengan kemampuan memancingnya yang berbeda.

Jika nelayan lain memancing ikan dengan keinginan mendapatkan ikan yang banyak. Ayah ku tidak teman, saat beranjak pergi maka ayah akan bertanya kepada ibu, ikan apakah yang mau kita nikmati hari ini?
Dan saat ayah pulang maka ikan yang dibawanya cuma jenis itu, tidak terlalu banyak teman, sekedar utk lauk dan sebagian dijual, tetapi yang kuherankan, ikan yang dijual setiap hari, nilainya tidak jauh berbeda dengan hari hari lainnya.

Dan saat musim purnama dimana byk nelayan lain tak melaut ayah tetap pergi kelaut, dan hasilnya tetap sama. Begitu juga saat arus bawah laut menguat hingga warna air laut mengeruh, nelayan lain tak melaut, ayah msh pergi kelaut dan kembali lagi hasilnya selalu sama.
Uh, dibawah hujan badaipun ayah masih pergi kelaut, dengan rasa tenang penuh percaya dirinya, dan pulang dengan hasil yang sama.

Pernah berapa kali aku mengikuti ayah pergi kelaut, ku perhatikan apa yang menjadi istimewanya, hingga dalam suasana apapun hasil yang ayah bawa pulang selalu sama. Saat mata kail diturunkan ayah seperti berbicara dengan ikan, memanggilnya, bertanya, dan kadang seperti proses seleksi, aku tak melihatnya seperti orang bicara sendiri, tapi seperti ada lawan bicara yang pasti.

Luar biasa dimataku, bertambah rasa seganku, sampai aku lupa bertanya tentang itu. Kusimpan teman, kusimpan dalam rentang waktu, semua pertanyaan itu.

Hingga waktu itu mendekatiku, tubuhku yang meninggi melebihi ayahku, kelincahan tubuhku yang meningkat pesat, gelegar suara ku yang kini mengalahkan nada suara ayahku. Dan ayah memanggilku ditepi pantai. Ditunjuknya sebuah biduk kecil, dan diserahkannya dayung ditanganku, sambil berkata, "kini tiba waktumu."

Sebatang rokok disulut dibibir ayah, saat nyala apinya cukup, diserahkannya rokok itu untukku. Dan kunikmati hembusan rokok disuasana malam yang sunyi itu.
"kau perhatikan keseharian ayah?", suara ayah memecah sunyiku.
"iya yah", jawabku.
Mata ayah menusuk tajam dikedua bola mataku, "pertama, keberanian..." ada jeda saat ayah menghisap rokok yang diraih dari tanganku.
"bukan kau tak punya rasa takut, tapi rasa takut itu menjadikan dirimu mampu mengatasi ketakutan dan merubahnya jadi sebuah keberanian", lanjutnya.
Aku hanya memanggut, karena darah itu sudah mengalir dihatiku, bukan hal yang sulit utk dicerna, dan sepertinya ayah tahu, mungkin cuma sekedar mengingatkan prioritas karakter.

"yang terakhir, cukup." sayup terdengar suara ayah. Pelan, sepelan pemahamanku atas kata itu.
"maknanya luas nak, dan ayah tak memberikan arti untukmu" potong ayah saat dia tahu ku akan melontarkan pertanyaan tentang itu.
Diperbaiki posisi duduk ayah, disandarkan punggungnya ditiang kayu.
"ayah memaknainya dengan perbuatan."
"ayah selalu berusaha mencukupi orang orang yang butuh terhadap ayah."
"berusaha keras untuk itu, dan alam langsung menjawab perbuatan itu"
Rentetan kalimat ayah, langsung diiringi jawaban atas kejadian kejadian sehari hari kami, rutinitas keseharian kami yang selalu cukup.

Dan waktu itu, telah berlalu. Ayah masih ada dengan kemampuan yang sudah kupahami, sedangkan aku masih berkutat dibiduk kecil ini, dengan sedikit pemahaman kata cukup.

Sepanjang perjalanan waktu, aku banyak mendapatkan pengetahuan baru dari teman teman nelayanku, mereka asik bercerita tentang samudera. Tentang luas tanpa batas pandangan horison biru, tentang ombaknya yang lebih tinggi, tentang anginnya yang lebih menderu dan tentang kerlip bintangnya yang lebih benderang.

Uh, ada apa disini, ada apa didalam hati, ada seribu tanya, ada seribu mimpi, ada tantangan yang kucari menanti. Semuanya berlalu dalam hari hariku, dalam kayuhan dayungku dibiduk kecil ini. Tapi tak memadamkan bara didalam hati.

Terus, dan terus terjadi. Aku terdesak, tersudutkan, dan menjadi menerima tantangannya. Itu semua menjadi berarti setelah aku menemukan pemahaman baru dari nasehat terakhir ayah "cukup".

"cukup, cukup sampai disini biduk kecilku, samudera menantiku."

1 komentar:

  1. Setelah beberapa waktu berlalu, ternyata memang benar dugaaaku ketika pertama kali membaca tulisan ini, dengan dibenarkan sendiri oleh penulisnya.

    Semoga ini yang terbaik buat kalian berdua dan keluarga.

    BalasHapus